Logo Bloomberg Technoz

Menurutnya, masalah yang dihadapi China bukan hanya fluktuasi pasokan dan permintaan, tetapi juga faktor struktural dalam industri baja serta dinamika perdagangan dunia.

"Paling tidak ada 3 sebab: (1) penurunan permintaan domestik karena perlambatan sektor infrastruktur dan properti, (2) pembatasan impor produk China, khususnya oleh UE, AS, dan Kanada, melalui penerapan tarif antidumping yang tinggi, 25%—100%, (3) penumpukan produk baja dan bahan bakunya akibat oversupply selama 2 tahun terakhir," tegasnya.

Dengan demikian, untuk mengatasi krisis ini, dia menyarankan beberapa strategi yang mungkin dapat diambil oleh China. Pertama, menstimulus permintaan domestik. Kedua, menstimulus ekspor dengan membiayai proyek infrastruktur di luar negeri seperti Belt and Road Initiative.

"Ketiga adalah memindahkan produksi ke luar negeri untuk menghindari blokade AS dan UE, dan yang keempat adalah membanjiri dunia dengan produk baja murah dari China," tekannya.

Sekadar catatan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), negara tujuan ekspor China untuk produk besi dan baja mereka adalah Indonesia dengan total impor selama kurang lebih 4 tahun terakhir terus mengalami peningkatan. 1,83 juta ton pada 2020; 2,51 juta ton pada 2021; 2,71 juta ton pada 2022 dan 3,71 juta ton pada 2023.

Meski demikian, Bloomberg Intelligence (BI) belum lama ini menilai krisis baja China tengah menuju gelombang kebangkrutan dan mempercepat konsolidasi industri yang sangat dibutuhkan.

Hampir tiga perempat dari produsen baja di negara itu mengalami kerugian di paruh pertama dan kebangkrutan kemungkinan besar akan terjadi pada banyak di antaranya, Michelle Leung, analis senior di BI, mengatakan dalam catatannya.

Xinjiang Ba Yi Iron & Steel Co, Gansu Jiu Steel Group dan Anyang Iron & Steel Group Co menghadapi risiko tertinggi, dan dapat menjadi target akuisisi potensial.

Gelombang konsolidasi akan membantu Beijing mendorong lebih banyak konsentrasi pada industri bajanya, ujar BI. Pemerintah ingin lima perusahaan teratas menguasai 40% pasar pada 2025 dan 10 perusahaan teratas menguasai 60%.

Target-target ini terlihat "dapat dicapai," meskipun China masih akan berada jauh di belakang Korea Selatan dan Jepang dalam hal ini, kata Leung.

Menariknya, di lain sisi Presiden Xi Jinping dan para pemimpin tinggi China menyerukan peningkatan pengeluaran fiskal, langkah-langkah untuk menstabilkan sektor properti, dan pemotongan suku bunga yang lebih agresif. Langkah ini mencerminkan urgensi pemerintah untuk menghentikan penurunan ekonomi China yang terus melambat.

Dalam pertemuan Politbiro yang dihadiri 24 anggota, China berkomitmen untuk mencapai target ekonomi tahunan. Menurut laporan Xinhua pada Kamis (26/9/2024), pemerintah akan mengambil tindakan lebih tegas untuk menahan penurunan pasar properti, yang selama ini menjadi salah satu faktor terbesar yang memperlambat ekonomi.

(prc/wdh)

No more pages