Djoko tidak menampik kemungkinan terdapat teknologi yang nantinya bisa memangkas kebutuhan lahan untuk PLTS. Namun, Djoko mengatakan saat ini belum ada teknologi yang memadai tersebut.
Menurutnya, penggunaan pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT) memang diperlukan, tetapi perlu terdapat kajian lanjutan bagaimana menghasilkan energi yang besar untuk memenuhi kebutuhan energi smelter.
“Smelter adalah industri yang rakus energi, sehingga kalau kita pakai surya itu intermittent, tidak bisa continue. Efisiensi rendah sekali, perlu kita pikirkan bersama. Bisa, tetapi mungkin butuh waktu,” ujarnya.
Djoko juga mengatakan saat ini APNI mengampanyekan penggunaan teknologi untuk mengurangi emisi dari batu bara atau clean coal technology, yang dinilai lebih mudah dibandingkan dengan PLTS membutuhkan investasi yang besar.
Sebagai perbandingan, PLTS Cirata memiliki nilai investasi US$143 juta (setara Rp2,2 triliun asumsi kurs saat ini).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya mengatakan telah melakukan diskusi dengan industri pemurnian atau smelter nikel di Weda Bay, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara untuk mulai beralih ke PLTS mulai 2025.
Bahlil meminta agar smelter-smelter di sana bisa menggunakan PLTS di lahan bekas pertambangan.
“Kita sudah diskusi dengan mereka, pada 2025 mulai start untuk mulai konversi memakai solar panel, di eks penambagan itu,” ujar Bahlil dalam agenda Green Initiative Conference 2024, Rabu (25/9/2024).
Puncaknya, kata Bahlil, smelter di Weda Bay bakal menggunakan bauran EBT pada kisaran 60% hingga 70%. Dalam kaitan itu, Bahlil mengatakan pemerintah memang membuat peraturan penggunaan EBT dalam industri secara bertahap.
Dengan demikian, Bahlil mendorong peralihan penggunaan PLTU berbasis baru bara menjadi pembangkit EBT.
Kementerian ESDM melaporkan setidaknya terdapat sekitar 501 hektare (ha) lahan bekas tambang yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan PLTS dengan potensi kapasitas mencapai 760 megawatt (MW).
(dov/wdh)