Dengan kondisi tersebut, Ali menilai kondisi industri baja di China tidak serta-merta bisa diasumsikan sebagai menuju ambang kebangkrutan.
Kondisi penurunan industri, kontraksi permintaan, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi memang terjadi di China. Terlebih, kondisi tersebut menghimpit perusahaan di China yang berhubungan dengan industri logam, termasuk baja.
Namun, kondisi industri di China berbeda dengan Indonesia karena industri strategis dikuasai oleh BUMN. Sementara itu, industri strategis seperti pertambangan dikuasai oleh pelaku usaha swasta di Indonesia.
“Agak berbeda dengan di Indonesia, di Indonesia itu kan sebagian besar ya industri pertambangan dan lain sebagainya itu kan sudah swasta. Dengan demikian, kalau ada potensi-potensi kehancuran, kebangkrutan itu memang nyata,” ujarnya.
“Kalau di China, yang setau saya, kan mayoritas itu dikuasai negara, mayoritas BUMN, pastinya akan ada langkah-langkah dari pemerintah China untuk menyelamatkan industri strategis mereka.”
Bloomberg Intelligence (BI) belum lama ini menilai krisis baja China tengah menuju gelombang kebangkrutan dan mempercepat konsolidasi industri yang sangat dibutuhkan.
Hampir tiga perempat dari produsen baja di negara itu mengalami kerugian di paruh pertama dan kebangkrutan kemungkinan besar akan terjadi pada banyak di antaranya, Michelle Leung, analis senior di BI, mengatakan dalam catatannya.
Xinjiang Ba Yi Iron & Steel Co, Gansu Jiu Steel Group dan Anyang Iron & Steel Group Co menghadapi risiko tertinggi, dan dapat menjadi target akuisisi potensial.
Gelombang konsolidasi akan membantu Beijing mendorong lebih banyak konsentrasi pada industri bajanya, ujar BI. Pemerintah ingin lima perusahaan teratas menguasai 40% pasar pada 2025 dan 10 perusahaan teratas menguasai 60%.
Target-target ini terlihat "dapat dicapai," meskipun China masih akan berada jauh di belakang Korea Selatan dan Jepang dalam hal ini, kata Leung.
(dov/wdh)