Logo Bloomberg Technoz

Selain menurunnya permintaan nikel, kata Andry, ekspor produk jadi besi baja dari Indonesia juga bisa menghadapi tantangan besar karena China kini hanya membuka pasar bagi produk besi baja dengan emisi karbon rendah. 

Sementara itu, dibandingkan dengan Australia—yang juga mengekspor produk jadi besi baja ke China — Indonesia masih belum mampu menyamainya.

Pasalnya, menurut Andry, Australia sudah mengambil langkah maju dengan mulai menggunakan hidrogen dalam proses produksi besi bajanya. Adapun, Indonesia masih bergantung pada teknologi produksi yang menggunakan batu bara, yang dianggap lebih mencemari.

Dengan demikian, dia menyoroti pentingnya bagi Indonesia untuk segera melakukan transisi teknologi menuju proses produksi yang lebih ramah lingkungan untuk dapat bersaing di pasar global, terutama dalam menghadapi persaingan dengan negara-negara yang sudah mulai beralih ke teknologi rendah karbon.

"Jadi dalam hal ini pemerintah saya mengharapkan bahwa sudah mulai membantu dari industri agar proses transisi teknologi menggunakan teknologi yang ramah lingkungan itu bisa terjadi. Insentif perlu diberikan karena untuk menghadirkan teknologi itu tentunya tidak mudah dan tidak murah," tegasnya. 

Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Julian Ambassadur Shiddiq sebelumnya melaporkan sebesar 84,74% produk hilirisasi nikel Indonesia seperti nickel pig iron (NPI) atau ferronickel (Fe-Ni), nickel matte, stainless steel HRC, dan ni-scrap diekspor ke China pada 2023.

Jika industri baja di China melemah atau gagal, kata Julian, permintaan nikel dari Indonesia ke China dapat mengalami penurunan dan menyebabkan oversupply nikel.

“Sehingga harga nikel global turun yang tentunya dapat berimbas negatif pada industri nikel di Indonesia serta berkurangnya volume ekspor nikel Indonesia yang berpengaruh kepada neraca perdagangan Indonesia serta menurunnya pendapatan negara dari ekspor nikel,” ujar Julian kepada Bloomberg Technoz, Kamis (26/9/2024).

Produksi baja China./dok. Bloomberg

Untuk diketahui, industri baja China tengah menuju gelombang kebangkrutan dan mempercepat konsolidasi industri yang sangat dibutuhkan, menurut Bloomberg Intelligence (BI).

Hampir tiga perempat dari produsen baja di negara itu mengalami kerugian di paruh pertama dan kebangkrutan kemungkinan besar akan terjadi pada banyak di antaranya, Michelle Leung, analis senior di BI, mengatakan dalam catatan.

Xinjiang Ba Yi Iron & Steel Co, Gansu Jiu Steel Group dan Anyang Iron & Steel Group Co menghadapi risiko tertinggi, dan dapat menjadi target akuisisi potensial.

Gelombang konsolidasi akan membantu Beijing mendorong lebih banyak konsentrasi pada industri bajanya, ujar BI. Pemerintah ingin lima perusahaan teratas menguasai 40% pasar pada 2025 dan 10 perusahaan teratas menguasai 60%.

Target-target ini terlihat "dapat dicapai," meskipun China masih akan berada jauh di belakang Korea Selatan dan Jepang dalam hal ini, kata Leung.

Krisis properti yang berkepanjangan di China dan pertumbuhan ekonomi yang lesu sedang membentuk kembali industri baja yang sangat besar di negara ini.

(prc/wdh)

No more pages