"Tidak akan ada gencatan senjata," unggah Menteri Luar Israel Katz di X, sementara Menteri Pertahanan Yoav Gallant mengatakan tujuan angkatan bersenjata adalah terus "melemahkan Hizbullah dan menambah kerugian mereka."
Pernyataan-pernyataan dari para pejabat tinggi Israel ini tampaknya bertujuan menghalangi upaya menciptakan gencatan senjata selama tiga minggu yang dimotori Presiden AS Joe Biden dan Presiden Perancis Emmanuel Macron.
AS, Uni Eropa dan negara Arab seperti Arab Saudi dan Qatar mendesak serangan itu dihentikan setelah Israel mengisyaratkan akan melakukan invasi darat ke Lebanon. Langkah Israel ini akan memicu konflik regional yang pada akhirnya melibatkan AS dan Iran.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengatakan bahwa "perang terbuka baru dapat merugikan bagi Israel dan Lebanon."
"Solusi diplomatis, bukan solusi militer, adalah satu-satunya cara agar warga sipil yang terpaksa mengungsi di kedua wilayah itu bisa kembali ke rumah mereka," kata Austin kepada wartawan di London, Kamis (26/9/2024).
Israel dan Hizbullah saling melepas roket sejak perang di Gaza terjadi hampir satu tahun lalu. Kelompok dukungan Iran ini sejak lama mengatakan akan terus menyerang Israel jika negara Yahudi ini terus menyerang Hamas.
Upaya mencapai gencatan senjata di Lebanon terjadi di saat pasukan Israel melakukan serangan udara di hari keempat, yang juga meliputi daerah pinggiran kota Beirut.
Lebih dari 600 orang dan setidaknya 50 anak-anak, tewas dalam serangan yang dimulai Senin (23/9/2024), dan puluhan ribu warga Lebanon meninggalkan wilayah selatan negara itu.
Hizbullah pun membalas serangan itu dengan menembakkan roket ke wilayah utara Israel, termasuk percobaan serangan pertama ke Tel Aviv, dan ini adalah konflik paling keras antara kedua kubu sejak perang 2006.
Militer Israel, IDF, mengatakan telah menewaskan kepala unit angkatan udara Hizbullah dalam serangan ke Beirut pada Kamis. Hizbullah membenarkan informasi ini lewat akun Telegramnya.
Stasiun televisi Israel, Channel 12, melaporkan bahwa para pejabat senior Israel memiliki persyaratan yang tidak akan disetujui oleh Pemimpin Hizbullah Hassan Nasrallah.
Sementara itu, radio Angkatan Darat Israel mengutip sumber pejabat keamanan bahwa militer memerlukan waktu lebih lama untuk bisa menghancurkan kemampuan militer Hizbullah.
Menlu Lebanon Abdallah Bou Habib mengatakan 500 ribu warga kehilangan rumah akibat serangan bom Israel.
Israel meningkatkan serangan dalam seminggu terakhir. Serangan Israel melalui pager dan walkie-talkie menewaskan sejumlah komandan tinggi Hizbullah dan melukai banyak anggota kelompok ini.
Hizbullah dan Iran menuduh Israel, yang hingga kini menolak berkomentar, bertanggung jawab atas serangan pager tersebut.
Salah satu sekutu kanan ekstrem Netanyahu, Menteri Keamanan Nasional Itamas Ben Gvir, mengancam keluar dari pemerintah koalisi yang berkuasa jika negara itu mencapai kesepakatan damai permanen di Lebanon. Jika hal ini terjadi, pemerintah koalisi Israel akan jatuh.
Kelompok oposisi Israel juga mengisyaratkan tidak terlalu bersemangat dengan usul gencatan senjata itu.
Naftali Bennet, mantan perdana menteri yang bisa menjadi pesaing kuat Netanyahu di Pemilu, mengatakan dalam unggahan di X bahwa saatnya tidak tepat.
"Jika Hizbullah ingin pengeboman itu berhenti, letakkan senjata, bubarkan diri dan pindah 15 km dari perbatasan Israel," tulisnya.
Sementara itu, ketua oposisi Yair Lapid mengatakan penghentian serangan tidak boleh lebih dari tujuh hari agar Hizbullah tidak memiliki waktu untuk memperkuat kembali militernya.
Di sisi lain, upaya AS menghentikan pertempuran di Gaza berulang kali gagal. Pengkritik dalam negeri menuduh Netanyahu menunda perdamaian karena ingin menenangkan sekutunya di koalisi kanan ekstrem seperti Ben Gvir.
Hamas sendiri menegaskan tidak akan melakukan kompromi meski kemampuan militernya sudah jauh menurun.
(bbn)