Logo Bloomberg Technoz

Namun, belum ada konfirmasi resmi dari pihak Hizbullah terkait apakah mereka akan menyetujui kesepakatan tersebut dan menghentikan serangan roket ke wilayah Israel. Beberapa politisi sayap kanan Israel juga menolak gencatan senjata, dengan alasan bahwa hal tersebut dapat memberikan waktu bagi Hizbullah untuk memperkuat diri.

Konflik antara Israel dan Hizbullah dimulai pada 8 Oktober, sehari setelah serangan yang dilakukan oleh Hamas di Israel selatan. Serangan itu menewaskan lebih dari 1.200 orang dan menyebabkan sekitar 250 orang disandera. Hizbullah, yang dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh AS, mengatakan tindakannya merupakan bentuk solidaritas dengan Hamas. Keduanya mendapat dukungan finansial dan pelatihan dari Iran.

Israel telah meningkatkan serangannya terhadap Hizbullah dalam 10 hari terakhir. Mereka mengatakan tidak punya pilihan karena upaya diplomatik untuk menghentikan serangan kelompok itu dan membuatnya memindahkan para pejuang kembali dari perbatasan Israel telah gagal.

Dampak Terhadap Ekonomi Lebanon

Sementara itu, meningkatnya permusuhan antara Israel dan Hizbullah turut memperburuk kondisi ekonomi Lebanon. Sebelum Oktober, sektor pariwisata di negara tersebut sempat menunjukkan pemulihan, dengan masuknya devisa asing yang sangat dibutuhkan untuk mendongkrak perekonomian.

Namun, situasi tersebut kini berubah drastis. "Ekonomi Lebanon saat ini dalam kondisi sangat kritis," ungkap Salam. Harapan untuk menghidupkan kembali industri pariwisata dan makanan Lebanon kini hancur berantakan akibat konflik yang terus berkecamuk.

Lebanon sendiri telah lama bergulat dengan krisis ekonomi yang dipicu oleh korupsi dan salah urus selama beberapa dekade. Pada Maret 2020, negara tersebut gagal membayar utang luar negeri senilai sekitar US$30 miliar, yang mempercepat kehancuran ekonomi nasional.

"Pertumbuhan ekonomi tidak ada saat ini," kata Salam. Investasi asing juga menjauh, dan potensi konflik yang lebih luas di kawasan Timur Tengah dapat mendorong Lebanon semakin ke ambang kehancuran ekonomi.

Selain itu, pemerintah Lebanon telah beroperasi dalam mode darurat selama lebih dari tiga tahun tanpa presiden, akibat ketidaksepakatan antarpartai politik mengenai siapa yang layak dipilih. Reformasi ekonomi yang dibutuhkan untuk mendapatkan pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) pun belum terwujud, meskipun pada 2022 Lebanon telah mencapai kesepakatan awal untuk mendapatkan pinjaman sebesar US$3 miliar dari IMF. Sayangnya, ketegangan politik internal telah menghambat upaya untuk melaksanakan reformasi yang diperlukan.

(bbn)

No more pages