Bloomberg Technoz, Jakarta - Kemerosotan kesejahteraan mayoritas masyarakat Indonesia yang tecermin dari penurunan jumlah kelas menengah terutama dalam lima tahun terakhir, membutuhkan respon kebijakan yang lebih berpihak dari pembuat kebijakan.
Itu karena posisi kelas menengah serta calon kelas menengah saat yang menjadi kontributor utama konsumsi rumah tangga nasional, bila dibiarkan terus merosot daya belinya, pada akhirnya akan menyeret pertumbuhan ekonomi RI keseluruhan.
Kebijakan yang berfokus membantu kelas menengah mempertahankan daya belinya, serta membantu masyarakat calon kelas menengah agar segera naik kelas, penting diinisiasi dan digalakkan agar target ambisius menjadi negara maju pada 2045 tidak terjebak menjadi jargon belaka.
Kajian yang dilakukan oleh LPEM Universitas Indonesia merekomendasikan beberapa kebijakan transformatif yang penting dilakukan oleh pemerintah agar kelompok konsumen terbesar itu bisa diperkuat dan memiliki bekal untuk 'naik kelas'.
Pertama, investasi dalam pendidikan dan pelatihan kejuruan. "Membekali individu dengan keahlian yang diperlukan untuk mengakses pekerjaan dengan produktivitas tinggi, akan menaikkan potensi penghasilan kelompok masyarakat ini. Pada gilirannya, itu dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi keseluruhan," kata ekonom dan akedemisi yang tergabung dalam Kelompok Kajian Makroekonomi, Keuangan, dan Ekonomi Politik LPEM UI di antaranya Jahen F. Rezki, Teuku Riefky, dan kolega.
Pemerintah perlu memperbanyak peluang kerja di sektor industri dengan produktivitas tinggi. Misalnya, sektor manufaktur yang bisa menyerap banyak tenaga kerja (padat karya) dan menawarkan upah lebih tinggi.
Mendorong pertumbuhan dan inovasi industri juga akan memicu penciptaan pekerjaan dengan upah lebih baik.
Kedua, perluasan program-program bantuan sosial. Keamanan atau stabilitas kondisi ekonomi masyarakat calon kelas menengah dan kelas menengah menjadi hal penting sehingga daya beli pun dijaga.

Ekonom melihat, pemerintah perlu memperluas program bantuan sosial untuk mendukung kelompok masyarakat ini untuk mempertahankan daya belinya. Termasuk di antaranya adalah program tunjangan pengangguran, cuti berbayar hingga cuti melahirkan.
Cuti orang tua yang komprehensif, mencakup cuti ayah dan ibu, penting bukan hanya untuk mendukung kesetaraan gender akan tetapi juga agar partisipasi kerja perempuan bisa ditingkatkan.
Pemerintah RI perlu didorong untuk menerapkan kebijakan yang mendukung model kerja fleksibel seperti remote working atau jam kerja yang bisa disesuaikan. Investasi pada layanan penitipan anak [daycare] yang terjangkau dan mengatasi diskriminasi di tempat kerja menjadi langkah lain untuk mendukung partisipasi kerja perempuan.
"Semua strategi itu sejalan dengan temuan dari survei Bank Dunia tahun 2019 yang menemukan bahwa kelas menengah melihat penciptaan lapangan kerja dan bantuan sosial sebagai kebijakan yang paling penting untuk mengatasi ketimpangan," kata tim akademisi UI.
Ketiga, mendorong sektor informal 'naik kelas'. Lebih dari separuh pekerja yang termasuk kategori calon kelas menengah dan kelas menengah di Indonesia, bekerja di sektor informal.
"Mendorong formalisasi pekerjaan melalui keringanan pajak, subsidi dan insentif keuangan lain bisa membantu bisnis memformalkan tenaga kerja mereka," demikian ditulis kajian tersebut.
Pendaftaran bisnis perlu disederhanakan, begitupun kepatuhan terhadap peraturan ketenagakerjaan bisa mendorong kegiatan pekerjaan formal jadi lebih menarik. "Juga, penguatan kapasitas negara untuk menegakkan hukum dan aturan juga diperlukan untuk mengurangi informalitas."

Keempat, permudah akses rumah layak huni. Aksesibilitas rumah layak huni masih menjadi isu besar bagi kelompok calon kelas menengah dan kelas menengah di Indonesia sejauh ini.
Para akademisi menyarankan kebijakan pemerintah perlu difokuskan pada peningkatan akses masyarakat terhadap rumah yang terjangkau melalui skema subsidi, pinjaman berbunga rendah dan pengembangan proyek perumahan terjangkau.
Para ekonom menilai, langkah-langkah kebijakan itu tidak hanya penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi RI keseluruhan, tetapi penting juga bagi stabilitas politik.
"Mengabaikan calon kelas menengah dan kelas menengah ini akan menimbulkan risiko politik yang signifikan," kata Teuku Riefky, ekonom LPEM UI.
Kelompok calon kelas menengah dan menengah mewakili sebagian besar pemilih, sehingga ketidakpuasan mereka bisa menyebabkan pergeseran elektoral yang besar seperti yang terlihat dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2020. Ketika itu, banyak pemilih kelas menengah yang tidak senang dengan kebijakan ekonomi dan pandemi, akhirnya mengalihkan dukungan dari Donald Trump ke Joe Biden.
Lebih jauh lagi, kegagalan mengatasi ketimpangan dan kondisi ekonomi yang buruk, bisa memantik keresahan sosial. Ini yang terlihat dari kasus Chile di mana ketimpangan dan frustrasi kelas menengah akan stagnasi ekonomi telah memicu tuntutan reformasi sistemik di negeri itu.
Kerusuhan serupa juga pecah di Prancis, ketika muncul gerakan 'Yellow Vest' sejak 2018 ini sebagai respon akan ketimpangan ekonomi yang dirasakan serta ketidakpuasan atas kebijakan pemerintah.
Di Brasil, protes yang pecah tahun 2013 juga sebagian besar didorong oleh kelas menengah yang menuntut layanan publik lebih baik, selain memprotes praktik korupsi dan mismanajemen pemerintahan.
Survei Bank Dunia 2019, calon kelas menengah dan kelas menengah di Indonesia memandang pemberantasan korupsi sebagai salah satu isu terpenting yang harus diselesaikan.
"Lembaga-lembaga yang kuat dapat memastikan adanya transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pelaksanaan kebijakan dan membantu memerangi korupsi yang dapat merusak efektivitas kebijakan," demikian dilansir dari kajian yang sama.
(rui/aji)