Menurut Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), hal ini yang terjadi di Indonesia. Sayangnya, di pengujung masa jabatannya sebagai menteri keuangan di era pemerintahan Presiden Jokowi, Sri Mulyani baru mengakui bahwa middle income trap terjadi karena kebijakan-kebijakan pemerintah.
Bhima menilai Sri Mulyani seakan mengakui kondisi middle income trap salah satunya disebabkan oleh pemerintah sendiri yang bertugas saat ini, di mana Bendahara Negara tersebut berada di dalamnya.
"Kesalahan utama adalah reformasi birokrasi yang melenceng keluar jalur," ujar Bhima kepada Bloomberg Technoz, Rabu (25/9/2024).
Menurut Bhima, hambatan regulasi memang masih menjadi isu utama dalam memperkuat daya saing Indonesia, meski kualitas regulasi jadi sama pentingnya.
"Pasca-UU Cipta kerja seakan terjadi percepatan perizinan, banyak aturan yang ditarik ke pemerintah pusat. Namun, secara kualitas regulasi ada banyak penurunan," kata Bhima.
Sebagai contoh, dia menggambarkan perizinan lingkungan yang dipermudah untuk hilirisasi ternyata berdampak negatif bagi masyarakat sekitar. Selain itu, ada banyak regulasi yang berubah-ubah dalam waktu singkat
"Banyak regulasi yang gonta-ganti berumur pendek. Masalah pengendalian impor yang flip-flop dengan revisi aturan dalam waktu pendek menurunkan kepercayaan investor dan pelaku usaha," sebut Bhima.
Dengan adanya aturan yang sering berubah, kata dia, maka investasi jangka panjang memiliki risiko lebih tinggi di Indonesia.
"ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia yang berada pada level 6,3 salah satunya karena ketidakpastian kebijakan menimbulkan inefisiensi investasi," tegas dia.
Strategi Korea Selatan Lepas Middle Income Trap
Lalu, bagaimana strategi Korea Selatan yang disinggung oleh Sri Mulyani? Apakah pemerintah Indonesia bisa melakukannya karena pengalaman Korea Selatan jelas menunjukkan peran besar dalam hal ini.
Perjalanan Korea Selatan keluar dari jebakan status berpenghasilan menengah tidak dimulai 10 atau dua puluh tahun lalu, negara ini sudah memulai di era 1960-an dan 1970-an.
Di era 1960-an Korea Selatan adalah salah satu negara termiskin di dunia. Menurut Somil Lal, penasehat senior Kepala Ekonomi Bank Dunia, pemerintah Korea Selatan mengambil langkah sebagai berikut:
1. pada 1960-an dan 1970-an pemerintah mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk mengirim para pakar mereka belajar dari perusahaan-perusahaan besar dunia seperi NEC di jepang untuk mempelajari bagaimana perusahaan itu bekerja.
2. Di saat bersamaan, pemerintah Korea Selatan mengatakan tidak hanya akan memberi pinjaman atau akses mendapatkan modal ke perusahaan yang membangun pabrik saja, tetapi pihak-pihak yang mendapatkan ide dari perusahaan lain di dunia juga dibantu. Jadi jika seseorang mendapatkan lisensi dari satu perusahaan besar dan memproduksinya di dalam wilayaah korea, dia akan mendapat insentif pajak.
Menurut Somil, kedua kebijakan ini membuat perusahaan-perusahaan memiliki kemampuan berinovasi sendiri dengan didukung oleh kesiapan sumber daya dalam negeri. Ketika Jepang mulai khawatir dengan kinerja perusahaan-perusahaan Korea Selatan, mereka menaikkan biaya lisensi produk. Korea Selatan bisa mengatasinya dengan melakukan invoasi mereka sendiri.
Jika dikelompokkan strategi Korea Selatan keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah dan mempertahankan statusnya sebagai negara berpenghasilan tinggai adalah sebagai berikut:
1. Inovasi dan investasi di riset dan pengembangan. Pemerintah Korea Selatan mendorong penelitian dan pengembangan industri teknologi tinggi seperti elektronik, bioteknologi, energi terbarukan, mendorok inovasi sebagi satu sektor bernilai tinggi.
2. Pendidikan dan Pengembangan Keahlian: Korea Selatan menitikberatkan pada pendidikan dan pelatihan vokasi untuk meningkatkan keahlian tenaga kerja sehingga bisa memenuhi perintaan industri canggih.
3. Mendukung UMKM: Dukungan itu berupa bantuan finasial, insentif pajak dan akses mendapatkan teknologi. Ini semua mendorong kewiraswastaan dan diversifikasi ekonomi. Perdagangan dan Investasi Global: Pemerintah Korea Selatan dengan aktif mencari kesepakatan perdagangan bebas dan menarik investasi asing agar bisa lebih terintegrasi dalam rantai pasok global.
4. Transisi Ekonomi Digital; Pemerintah Korea Selatan mempromosikan transformasi digital di berbagai sektor, mendorong dunia bisnis mengadipso teknologi baru dana meningkatkan produktivitas.
~ Dengan bantuan Laporan Azura Yumna ~
(lav/yns)