Tak hanya itu, sertifikasi seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang dimiliki Malaysia menjadi nilai tambah yang membuat produk CPO negara tersebut lebih diminati di pasar internasional.
RSPO sendiri merujuk pada asosiasi nirlaba yang mempersatukan berbagai organisasi industri kelapa sawit dalam satu tujuan termasuk produsen, pemroses atau pedagang, produsen barang-barang konsumen, pengecer, LSM sosial, LSM pelestarian lingkungan atau konservasi alam, bank, dan investor kelapa sawit.
"Oleh karena itu, meskipun harga CPO Indonesia lebih rendah, negara-negara pembeli mungkin masih mempertimbangkan faktor keberlanjutan dan kualitas ketika memutuskan untuk membeli minyak sawit," ujar Achmad.
"Di sisi lain, pemangkasan pungutan ekspor juga bisa dilihat sebagai strategi jangka pendek untuk meningkatkan daya saing. Namun, dalam jangka panjang, Indonesia perlu memastikan bahwa industri sawitnya mampu bersaing tidak hanya dari segi harga, tetapi jugga dari sisi kualitas, keberlanjutan, dan efisiensi produksi."
Untuk diketahui, pemangkasan pungutan ekspor CPO yang diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62 Tahun 2024.
Pemangkasan pungutan ini menjadi US$63/ton dari US$90 per ton untuk September. Pungutan untuk produk kelapa sawit olahan akan berkisar antara 3% dan 6%. Peraturan baru ini berlaku sejak 22 September 2024.
Adapun, referensi atas pungutan -rata-rata tertimbang berdasarkan harga minyak kelapa sawit- ditetapkan setiap bulan oleh Kementerian Perdagangan untuk menghitung bea keluar.
Mengutip data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), yang dilansir Rabu (25/9/2024), ekspor CPO dan produk turunannya terus mengalami tren penurunan.
Total ekspor CPO dan produk turunannya mengalami penurunan menjadi 2,24 juta ton pada Juli 2024 dari 3,38 juta ton bulan sebelumnya atau turun sebesar 1,14 juta ton, setelah naik pada sebelumnya dengan 1,42 juta ton.
Penurunan terbesar terjadi pada produk olahan CPO yang turun sebesar 648.000 ton dari 2,23 juta ton pada Juni menjadi 1,58 juta ton pada Juli, diikuti CPO yang turun dengan 477.000 ton menjadi 174.000 ton.
Walhasil, nilai ekspor juga anjlok menjadi US$1,97 miliar dari US$2,79 miliar pada Juni, meskipun harga rata-rata CPO naik dari US$1.011/ton pada Juni menjadi US$1.024/ton cif Roterdam pada Juli.
Menurut negara tujuannya, penurunan ekspor terbesar terjadi untuk tujuan India yang turun 490.000 ton secara bulanan menjadi 293.000 pada Juli, diikuti oleh China yang turun 255.000 ton menjadi 488.000 ton.
Ekspor ke Mesir juga anjlok 71.000 ton menjadi 50.000 ton, ke Pakistan turun 64.000 ton menjadi 224.000 ton setelah, sedangkan ke Afrika turun 162.000 ton setelah naik 184.000 ton pada bulan sebelumnya. Ekspor CPO tujuan Uni Eropa juga mengalami kemerosotan sebesar 77.000 ton menjadi 198.000 ton pada Juli.
(prc/wdh)