Pertumbuhan tersebut telah bertahan di atas angka 15% sejak Maret, kecepatan yang tinggi sejak terlihat pada November 2022. Gelombang kesepakatan (Pinjaman) terus berlanjut di awal bulan ini dengan peminjam seperti Petrosea yang baru menandatangani fasilitas bernilai triliunan rupiah.
Yang jadi catatan, “Tren ini kemungkinan akan berubah.”
Amblesnya empat saham bank besar tersebut searah dengan IHSG yang anjlok semakin dalam. Pukul 11.45 WIB, IHSG ambles 103,57 poin atau setara dengan anjlok 1,33% ke level 7.674.
Berikut pergerakan harga saham empat bank besar berdasarkan data Bloomberg, Rabu (25/9/2024).
- PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) anjlok 4,52% ke level Rp5.275/saham
- PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) anjlok 4,31% ke level Rp5.550/saham
- PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) anjlok 4,04% ke level Rp7.125/saham
- PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) melemah 0,92% ke level Rp10.700/saham
“Pertumbuhan pinjaman korporasi yang cepat yang kita lihat tahun ini mungkin akan melambat pada akhir 2024 dan memasuki 2025 karena akan menguras likuiditas di sektor perbankan,” terang Jeffrosenberg Chenlim, Kepala Riset di Maybank Sekuritas Indonesia.
“Rasio pinjaman terhadap simpanan sektor perbankan akan meningkat dan hal itu akan membatasi kemampuan bank untuk memberikan kredit,” jelasnya.
Di mana pertumbuhan pinjaman di ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini secara konsisten melampaui pertumbuhan simpanan bank tahun ini dalam hal nominal. Hal tersebut telah mendorong rasio pinjaman terhadap simpanan mendekati 90% pada bulan lalu, yang merupakan level tertinggi setidaknya sejak 2021, menurut data Bank Sentral terbaru di minggu ini.
Seperti yang diwartakan Bloomberg News, lonjakan Perusahaan Indonesia dalam menggalang pinjaman mata uang lokal tahun ini merupakan bagian dari tren yang lebih luas di Asia, di mana para peminjam beralih ke pasar domestik untuk mendapatkan pendanaan yang lebih murah di tengah tingginya suku bunga acuan dolar.
Hal ini telah mengakibatkan berkurangnya volume pinjaman dalam dolar AS di kawasan tersebut. Pinjaman dolar yang diajukan oleh peminjam asal Indonesia turun ke level terendah dalam 17 tahun, sebesar US$6 miliar sejak awal tahun, menurut data yang dihimpun oleh Bloomberg.
“Meskipun penerbit surat utang cenderung menggunakan pasar mata uang lokal dalam beberapa tahun karena biaya pendanaan yang relatif lebih tinggi di pasar internasional, hal ini sekarang mulai berubah,” papar kata Edward Tsui, Kepala Pendanaan Pasar Modal dan Sindikasi Asia Pasifik di Deutsche Bank.
Sejumlah penerbit surat utang telah memulai transaksi obligasi yang berdenominasi dolar AS minggu ini setelah Federal Reserve memangkas suku bunga sebanyak 50 Bps.
Ekspektasi adanya pemotongan lebih lanjut kemungkinan akan menarik lebih banyak peminjam di kawasan ini kembali ke pasar pembiayaan dalam dolar AS.
“Kegiatan penerbitan baru di pasar internasional sudah meningkat pada tahun 2024 dan kami proyeksikan tingkat aktivitas ini akan semakin cepat pada tahun 2025,” kata Tsui.
(fad)