"Ya enggak bisa disalahkan, karena kan mereka [pesaing] katakanlah punya desain, punya macam-macam begitu," katanya.
Kelas Menengah
Hal lain yang juga mempengaruhi kepailitan tersebut adalah kinerja perusahaan. Dalam kasus kompor Quantum, Tauhid menilai persaingan di bisnis tersebut makin ketat seiring dengan makin maraknya penggunaan kompor listrik di kalangan masyarakat menengah ke atas.
Bagaimanapun, dia menekankan bahwa penggunaan kompor listrik masih belum merata, terutama karena daya listrik di banyak rumah tangga menengah ke bawah masih terbatas.
Dengan demikian, penurunan daya beli masyarakat khususnya bagi kelas menengah ke bawah menjadi faktor yang lebih krusial dalam menekan permintaan produk peralatan rumah tangga.
"Nah mungkin itu faktor lain lagi karena [bagi] kelompok menengah ke bawah, harga adalah menjadi urutan teratas sebelum kualitas. Jadi itu juga harus diperhatikan. Kalau dia mau mengambil market yang kelas menengah, [daya beli kelas] menengah ini lagi drop, maka dia akan kehilangan market-nya,” kata Tauhid.
“Makanya, dia harus juga mungkin, market-market yang bawah tadi yang harus diperhitungkan, karena itu terbesar. Kalau kelas menengahnya lagi turun, mungkin [penjualan] produk Quantum akan turun," jelasnya.
Untuk diketahui, perusahaan pembuat kompor legendaris tersebut ternyata sudah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Tata Niaga Jakarta Pusat pada Juli 2024. Kondisi ini sejalan dengan adanya kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 511 pekerja pabriknya.
Berdasarkan laman resminya, PT Aditec Cakrawiyasa merupakan perusahaan yang memproduksi kompor gas, regulator, dan selang dengan merek Quantum sejak 31 tahun lalu (1993).
Direktur PT Aditec Cakrawiyasa Iwan Budi Buana, dikutip dari berbagai sumber, menuturkan perusahaan tengah berusaha mencoba untuk bertahan di tengah kesulitan yang terjadi selama beberapa tahun terakhir.
Namun, tunggakan utang yang mencapai ratusan miliar membuat perusahaan tidak bisa berbuat banyak selain dipailitkan oleh pengadilan. Adapun, perusahaan mengungkapkan penyebab pailit hingga tutupnya pabrik karena tidak mencapai target penjualan sedangkan biaya yang harus ditanggung terus naik.
Senasib, di tingkat global, Tupperware Brands Corp akhirnya juga resmi mengajukan klaim kebangkrutan setelah bertahun-tahun berjuang melawan penurunan penjualan dan meningkatnya persaingan.
Tupperware mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11 di AS dan mencatat aset antara US$500 juta hingga US$1 miliar, serta kewajiban US$1 miliar hingga US$10 miliar, menurut pengajuan pengadilannya, dikutip Bloomberg.
Perusahaan peralatan dapur yang mendominasi pasar penyimpanan makanan selama beberapa dekade ini, mengajukan kebangkrutan di Delaware.
Perusahaan juga berencana untuk meminta persetujuan pengadilan guna memfasilitasi penjualan bisnis dan melanjutkan operasinya selama proses kebangkrutan.
Pada Juni 2024, Tupperware mengumumkan akan menutup pabrik terakhirnya di AS dan memberhentikan 150 karyawan. Negosiasi juga dilakukan dengan kreditur untuk mengelola utang lebih dari US$700 juta telah berlangsung berbulan-bulan, tetapi bisnisnya terus memburuk.
(prc/wdh)