Logo Bloomberg Technoz

Padahal, PT TEP sebelumnya lebih dulu membeli lahan tersebut dari pemilik tanah awal yaitu PT Nusa Kirana Real Estate dengan harga yang lebih rendah. Setidaknya, PT TEP hanya membeli lahan tersebut termasuk dengan pajak, BPHTB, dan notaris senilai Rp147 miliar.

Modus Korupsi Bank Tanah di Rorotan

Menurut KPK, dalam perkara tersebut, Yorry berperan sebagai Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya periode 2020-2024. Dia pun turut dalam pengambilan keputusan pengadaan bank tanah -- pembelian lahan oleh BUMD untuk kepentingan Pemprov DKI Jakarta.

Saat itu, Sarana Jaya mendapat beberapa penawaran lahan, salah satunya dari PT Totalindo Eka Persada (PT TEP) -- perusahaan jasa konstruksi pembangunan high rise building seperti apartemen, mall, dan kantor. 

Pada Februari 2019, PT TEP kemudian membelli enam bidang tanah dari PT Nusa Kirana Real Estate seluas 11,7 hektar di Rorotan, Jakarta Utara dengan harga Rp950 ribu per meter persegi. Lahan tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran utang PT NKRE kepada PT TEP dengan nilai transaksi senilai Rp117 Miliar.
   
Tanah ini kemudian diajukan PT TEP ke Sarana Jaya dengan skema kerja sama operasional dengan harga Rp3,2 juta per meter persegi. Dalam tawaran tersebut, PT TEP dan Sarana Jaya akan mengelola lahan tersebut secara bersama.

Yorry pun mengirimkan surat kepeminatan atas tawaran PT TEP yang dikirimkan pada 18 Februari 2019. Dalam rapat negosiasi, Maret 2019, TEP dan Sarana Jaya sepakat besaran harga tanah pada lahan tersebut sebesar Rp3 juta per meter persegi; atau lebih mahal Rp2,05 juta per meter persegi dari NKRE.

Kesepakatan tersebut diambil meski Sarana Jaya juga belum menunjuk kantor jasa penilai publik untuk menilai harga tanah. Selain itu, perusahaan pelat merah milik Pempov DKI Jakarta tersebut juga belum melakukan kajian internal terkait penawaran KSO dari TEP.

Penyidik menuduh Yorry dan Indra mengetahui harga wajar tanah di Rorotan yang ditawarkan TEP sangat mahal. Mereka mendapat informasi tersebut dari hasil analisis internal dan perhitungan KJPP Wisnu Junaidi. Namun, keduanya tetap mengabaikannya.

Bahkan, penyidik mendapatkan informasi Yorry secara sengaja mengarahkan Sarana Jaya tak menunjuk KJPP independen untuk menilai tanah milik TEP. 

Yorry dan Donald kemudian menandatangani kesepakatan perjanjian KSO lahan Rorotan, 16 Maret 2019. Dalam kesepakatan tersebut, TEP mengklaim sebagai pemilik sah dan bisa mengelola penuh seluruh lahan seluas 11,7 hektar. Padahal, saat itu, SHGB dari enam bidang tanah pada lahan tersebut masih atas nama NKRE.

Sarana Jaya kemudian mulai membayar uang muka dan pelunasan tahap I senilai Rp30 miliar kepada TEP. Akan tetapi, transaksi tersebut harus dibatalkan dan dikembalikan karena tak ada persetujuan Dewas Sarana Jaya.

Yorry pun mengakali hal tersebut dengan mengubah kerja sama dari KSO menjadi skema beli putus. Sehingga, pada akhir Maret 2019, Yorry dan Donald kembali bisa menandatangani enam akta PPJB atas enam bidang tanah pada lahan di Rorotan.

Sarana Jaya pun membayar uang muka kepada TEP sebesar Rp150 miliar. Pembayaran tetap dilakukan meski saat itu TEP sendiri belum melunasi pembayaran ke NKRE.

Sarana Jaya kemudian membayarkan uang kepada TEP sebanyak Rp201 miliar pada April hingga September 2019. Sehingga, total uang yang sudah digelontorkan untuk pengadaan lahan 11,7 hektar tersebut telah menembus Rp351 miliar.

Usai pengukuran ulang, tanah yang dibeli Sarana Jaya ternyata mencapai 12,3 hektar. Nilai yang sudah dibayarkan mencapai Rp370 miliar. Kedua perusahaan pun akhirnya menandatangani enam AJB pada 23 Februari 2021.

Menurut penyidik, Yorry secara sepihak menentukan lahan yang harus dibeli Sarana Jaya di Rorotan, tanpa kajian teknis yang komprehensif. Padahal, lahan yang cukup besar tersebut juga butuh biaya pematangan yang tinggi. Hal ini juga tak sesuai dengan kriteria teknis lahan Rumah Susun Sederhana (Rusuna) pada Pasal 3 Pergub DKI No. 27 Tahun 2009.

Penyidik juga menemukan, memo intern penyampaian laporan penilaian atas penawaran lokasi Jl. Rorotan-Marunda seluas 11,7 Ha dibuat bertanggal mundur atau backdate. Memo intern bertanggal 21 Februari 2019 yang merupakan memo penyampaian laporan gabungan kajian evaluasi proposal penawaran dan hasil survei fisik, kajian analisa pasar pesaing, dan kajian analisa finansial atau hitungan kelayakan. Secara aktual baru dibuat pada 27 Maret 2019 oleh Maulina Wulansari. 

KPK juga mendeteksi Yorry menerima sejumlah fasilitas dari TEP sehingga secara sepihak memaksa Sarana Jaya membeli lahan di Rorotan tersebut. Yorry setidaknya diduga menerima uang senilai Rp3 miliar dalam bentuk mata uang Singapura dari TEP.

TEP juga tercatat membeli sejumlah aset pribadi milik Yorry. Beberapa di antaranya adalah sebuah rumah dan sebuah apartemen. Modusnya, aset-aset tersebut dibeli oleh salah satu pegawai TEP yang mendapat pinjaman lunak dari perusahaan.

(fik/frg)

No more pages