Pemodal bukan hanya berjejalan menyerbu surat utang negara. Instrumen moneter tenor pendek, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga jadi buruan di pasar perdana hari ini.
Lelang rutin SRBI membukukan incoming bids sebesar Rp46,04 triliun, naik 36% dibanding lelang pekan lalu. Animo yang besar dalam lelang SRBI pertama pasca BI rate dipangkas itu, juga memperlihatkan penurunan tingkat bunga yang diminta oleh pasar.
Bila dalam lelang sebelumnya, SRBI-12M diminta di 7,08-7,20%, dalam lelang hari ini permintaan rate makin rendah di 6,70-7,13%. Bank Indonesia akhirnya memenangkan bunga diskonto SRBI tenor terpanjang di level 6,84%, yang menjadi tingkat bunga terendah sejak awal Maret lalu.
Masa depan kebijakan bunga acuan lebih rendah ke depan memberi energi bagi penguatan harga aset-aset fixed income.
The Fed, bank sentral AS, diperkirakan masih akan melakukan pemangkasan bunga acuan di sisa tahun ini hingga Fed fund rate ada di level 4,25% di akhir 2024. Sedangkan pada 2025, diperkirakan akan ada pemangkasan lanjutan hingga level suku bunga kebijakan AS ada di 3% akhir tahun depan.
Outlook itu mempengaruhi tren bunga acuan global tak terkecuali Indonesia.BI diprediksi akan memangkas bunga acuan lagi pada Oktober, terutama bila capital inflows yang sudah masuk senilai US$10,1 miliar selama kuartal ini, berlanjut makin besar.
Juga, bila penguatan rupiah semakin langgeng di bawah Rp15.000/US$, menurut prediksi Bahana Sekuritas.
Itu memberi sinyal bukan hanya bagi surat utang, tapi juga potensi kenaikan harga aset yang lebih berisiko seperti saham. Kondisi moneter lebih longgar bisa berdampak positif bagi dunia usaha sehingga ekspansi bisa digeber lebih kuat.
Tingkat bunga acuan lebih rendah juga akan mendorong penurunan biaya dana termasuk penurunan bunga kredit perbankan yang bisa mengurangi beban cicilan konsumen.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam pengumuman kebijakan bunga acuan pada Rabu lalu, menyatakan, BI kini bisa lebih menyeimbangkan kebijakan moneter yang selama ini lebih condong untuk menjaga stabilitas moneter.
"Sebelumnya [kebijakan] lebih pro stabilitas [rupiah]. Sekarang sudah seimbang antara stabilitas dan pertumbuhan [ekonomi]," kata Perry.
(rui)