Adapun, berikut fakta-fakta mengenai PLTA Cirata sebagai satu-satunya yang berada di bawah tanah:
Profil PLTA Cirata
PLTA Cirata ini berlokasi di Desa Cadassari, Tegalwaru, Purwakarta yang memiliki delapan unit generator. Pada awal operasi, yakni pada 1988, terdapat empat unit generator yang beroperasi. Selanjutnya, unit 5 dan unit 6 mulai beroperasi pada 1997. Pada 1988, unit 7 dan unit 8 mulai beroperasi.
Dalam paparannya, energi yang dibangkitkan dari PLTA ini adalah 1.428 GWh/tahun atau setara dengan 428.000 ton minyak.
Namun, energi yang dibangkitkan bergantung pada capacity factor generator yang saat ini berada pada rentang 15% hingga 16% yang menghasilkan energi 1.350 GWh/tahun.
Penyangga Batu Bara
Prihanto menggarisbawahi PLTA Cirata hanya berfungsi sebagai penyangga dari beban dasar atau base load energi listrik yang selama ini berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara.
Dengan demikian, PLTA Cirata bakal memiliki waktu operasional yang berbeda setiap harinya, yakni sesuai dengan kebutuhan pada sistem Jawa, Madura dan Bali.
“PLTA Cirata itu memang untuk menjaga kualitas frekuensi, kualitas frekuensinya di sistem sebagai penyangga beban puncak. Paling utama adalah sebagai black start,” ujarnya.
“Black start itu jika sistem Jawa ini padam, blackout, kita yang pertama. Kita bisa operasi tanpa dari sistem luar pun kita bisa mengisi jaringan.”
Melewati Gunung
Prihanto menyebutkan pengaliran air PLTA Cirata, yang berasal dari Waduk Cirata, dilakukan melalui Gunung Cantayan yang dibor dengan diameter 8 meter dan dibangun headrace tunnel sepanjang 640 meter.
“PLTA Cirata ini posisinya di dalam gunung yang dibor lubang 8 meter diameternya. Itu airnya dari waduk dan dialirkan ke sini,” ujarnya.
Menurut Prihanto, pengaliran air yang dilakukan melalui Gunung Cantayan tersebut sudah melalui fase studi kelayakan untuk menyesuaikan kondisi geografi lingkungan sekitar PLTA Cirata tersebut.
Sumber Air
Prihanto menjelaskan PLTA Cirata menggunakan sumber air mayoritas dari Sungai Citarum yang salah satunya dibendung melalui Waduk Cirata.
Namun, Prihanto mengatakan tinggi muka air (TMA) dari Waduk Cirata harus dijaga. Sebab, waduk tersebut memiliki fungsi utama untuk mengendalikan banjir dan irigasi pengairan.
“Setiap bulan ada kesepakatan, air yang dijaga di Waduk Cirata itu minimal 206 meter, kita punya space 1 meter. Kita tidak boleh operasi di 205 meter, jadi 1 meter sebagai cadangan kalau sistem kolaps,” ujarnya.
(dov/wdh)