"Dengan adanya kejadian seperti ini ya tadi menjadi evaluasi kita. Tentunya pasukan yang sudah lama mungkin sudah bertugas lama kita ganti prajurit-prajurit yang baru," kata dia lagi.
Pernyataan panglima TNI itu dibaca pengamat militer Beni Sukadis bisa bermaksud ingin memberikan pesan menggentarkan TPNPB Organisasi Papua Merdeka (TPNPB OPM). Menurut dia, pesan ini bisa diartikan permainan psikologi efek gertak setelah jatuhnya korban dari pihak TNI. Namun apakah langkah ini akan strategis dan efektif? Belum tentu. Status siaga tempur malah memberikan konsekuensi situasi keamanan yang lebih genting walaupun dilakukan secara gerilya.
Yang juga perlu dicatat, dia mempertanyakan apakah operasi siaga tempur sudah mendapat lampu hijau dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan persetujuan DPR. Pada dasarnya, kebijakan strategis militer sejak zaman Reformasi harus keluar melalui keputusan politik. Hal itu diatur dalam Undang Undang tentang Pertahanan dan Undang Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Di sisi lain bagi warga Papua, kondisi siaga tempur jelas berdampak negatif karena bisa terjadi situasi tak terkendali. Korban sipil bisa jatuh.
Beni menilai, selama ini persoalan Papua tak bisa diselesaikan secara militer. Namun tampaknya pemerintah masih melakukan pendekatan yang sama. Padahal lanjut dia, negosiasi perlu dilakukan dengan penyandera sebelum dilakukan pembebasan militer. Negosiasi pun seharusnya dilakukan oleh tokoh sipil agar netral.
"Bisa saja masyarakat sipil setempat ataupun sanderanya juga (jadi korban). Jadi lebih negatif kalau menurut saya. Karena seperti tadi tesis di awal saya, operasi militer apa pun enggak akan menyelesaikan masalah soal masyarakat Papua. Mreka akan tetap menuntut merdeka karena ini urusan politik, harus diselesaikan secara politik juga eggak bisa secara militer," kata Beni pada Selasa malam (18/4/2023).
Reaksi TNI juga menurut dia harusnya mempertimbangkan apakah langkah itu justru "masuk jebakan" keinginan kelompok separatis yang memang ingin disorot luas. Operasi dan intensitas kontak militer yang besar dan disorot dunia internasional justru bisa membuat Indonesia dalam posisi tersudut nantinya.
Jokowi datang kami hargai itu. Kami hargai sebagai kepala negara dia akan tetap hadir. Tapi setiap wilayah dengan spesifik masalah itu harus diselesaikan. Dialoglah
Pdt. John Baransano
Sementara Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga mengkritik operasi siaga tempur yang didengungkan Yudo Margono. Dia menyesalkan pemerintah yang puluhan tahun tetap menggunakan pendekatan keamanan di Papua.
"Potensi pelanggaran HAM dengan korban jiwa juga makin besar, apabila kita merujuk pada insiden kekerasan empat tahun belakangan ini. Korbannya tidak hanya warga sipil namun juga dari kalangan aparat keamanan," kata Usman Hamid.
Menurut data Amnesty, periode 2018-2022 saja, sedikitnya 179 warga sipil tewas. Kematian itu akibat 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan dan kelompok pro-kemerdekaan Papua.
Dihubungi terpisah, tokoh agama dan masyarakat Papua Pdt. John Baransano mengingatkan ekses buruk yang bisa dialami warga sipil dengan pengerahan kekuatan militer yang lebih besar.
"Yang kami takutkan, saya sebagai pendeta, sebagai tokoh agama, yang saya takutkan itu umat yang tidak berdosa jadi korban. Kalau TNI kan dengan OPM ini kan sudah jelas itu ranah mereka. Tapi yang kita takutkan hari ini adalah sipil," kata John.
"Sebab orang Papua kan tidak bisa dibedakan mana KKB mana orang Papua. Kami semua sama, hitam, keriting," imbuhnya.
John menambahkan, TPNPB sudah jelas ingin menarik simpati dunia internasional karena sejak awal TPNPB bagian OPM itu memang ingin merdeka. Oleh karena itu dengan posisi tersebut, menggempur dengan kekuatan lebih besar justru akan mengamplifikasi pemberitaan tentang mereka.
Dia mengatakan, warga Papua pasti tak akan setuju dengan operasi siaga tempur atau semacamnya. Yang diperlukan adalah ruang dialog hingga menyentuh persoalan masa lalu. Rekomendasi atas [enyelesaian akar masalah ini pernah dikeluarkan LIPI, lembaga yang sekarang bernama BRIN tersebut.
"Pengamat politik, pengamat militer, silakan ngomong sepuas anda. Tapi masalah di Papua dari akar masalahnya belum diselesaikan," imbuh dia.
Pembangunan bukan Jawaban
John mengatakan, sebenarnya pendekatan negara yang dilakukan di Papua pada era Presiden Jokowi tidak berbeda dengan zaman saat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Megawati Soekarnoputri memerintah. Sekalipun pemerintahan Jokowi kerap mengeklaim betapa pembangunan di Papua itu kini progres dibandingkan satu dekade lalu. Dia mengatakan, masalah di Papua itu spesifik di setiap daerah dan tak bisa diselesaikan secara bersamaan. Oleh karena itu ruang dialog harus terbuka. Pihak-pihak yang melakukan pembunuhan di Papua kata John harus diseret ke ranah hukum.
"Jokowi datang kami hargai itu. Kami hargai sebagai kepala negara dia akan tetap hadir. Tapi setiap wilayah dengan spesifik masalah itu harus diselesaikan. Dialoglah. Kalau TNI dengan TNPBM-OPM itu pasti bertempur. Bagaimana dengan sipil yang di antara mereka? Kami butuh dialog. Presiden harus berani buka ruang dialog dengan orang Papua," ucapnya.
Dia menegaskan konflik masa lalu yang menyisakan trauma dan pelanggaran HAM harus selesai jika ingin kondisi Papua berubah.
"Kami tidak pernah alergi terhadap pernyataan presiden. Tapi yang kami mau katakan bahwa konflik di papua itu sejak tahun 1960-an sampai hari ini tidak pernah selesai," kata dia.
Senada, Beni Sukadis menilai bahwa sekalipun Jokowi disebut presiden paling sering berkunjung ke Papua tak membuat kondisi di sana lebih baik. Pasalnya, Jokowi tak melakukan penyelesaian politik. Padahal penyelesaian politik setidaknya kata Beni terbukti ampuh termasuk dalam konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh pada masa lalu.
"Enggak berdampak sama sekali (pendekatan ekonomi). Jadi itu kunjungan pak Jokowi pun yang belasan kali ke sana itu enggak punya pengaruh apa pun terhadap posisi ataupun standing dari masyarakat Papua yang ingin merdeka. Dengan penegakan ekonomi enggak akan bisa selesai juga," tutup Beni, pakar dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia tersebut.
(ezr)