Sejak pertemuan moneter terakhir BI pada Agustus, lanjut dia, harga minyak telah jatuh sekitar 10% dengan patokan WTI anjlok di bawah US$65 per barel. Bagi BI, hal ini tidak hanya menghilangkan inflasi yang membayangi, dengan potensi tidak akan ada kenaikan harga bahan bakar dalam waktu dekat.
Harga minyak yang lebih rendah juga dapat meningkatkan dinamika penawaran-permintaan valas yang dapat menyebabkan apresiasi rupiah lebih lanjut ke depannya, karena 30% permintaan dolar AS dalam negeri berasal dari impor minyak.
"Empat bulan deflasi berturut-turut seharusnya dapat meyakinkan BI," tutur Satria.
Dia menjelaskan Gubernur BI Perry Warjiyo sangat setia pada kerangka penargetan inflasi, dan berpegang pada prinsip bahwa negara dengan inflasi yang lebih rendah secara teoritis akan memiliki mata uang yang lebih kuat dan pada akhirnya memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga.
Berkat menurunnya harga pangan yang bergejolak, Indonesia telah mencatat deflasi bulanan selama empat bulan berturut-turut sejak Mei. Hal ini bahkan masih berpotensi berlanjut dalam beberapa bulan mendatang jika harga bahan bakar disesuaikan lebih rendah.
"Pelemahan ekonomi yang terjadi bersamaan di AS dan China juga memerlukan respons kebijakan," tegas Satria.
Karena dua ekonomi terbesar dunia tersebut melambat pada saat yang sama, Indonesia tidak kebal terhadap dampak negatif, dengan PMI manufaktur yang telah turun di bawah 50 selama dua bulan berturut-turut karena memburuknya permintaan eksternal.
Reli terkini di pasar obligasi AS dan Tiongkok merupakan reaksi terhadap perlambatan global yang sedang berlangsung: Sejak RDG BI bulan lalu, imbal hasil obligasi AS tenor 2 tahun yang sensitif terhadap kebijakan telah turun dari 4,0% menjadi 3,5% sekarang, yang secara efektif setara dengan pelonggaran tambahan sebesar 50 bps dari AS.
Menurut Satria, Gubernur BI merupakan sosok yang pragmatis dengan kecenderungan untuk bertindak lebih cepat. Perry Warjiyo mungkin telah mengisyaratkan pemangkasan suku bunga BI pada Oktober atau setelah The Fed, tetapi rekam jejaknya menunjukkan bahwa ia dapat bergantung pada data dan bertindak tegas untuk mengejutkan pasar.
Ini terbukti dengan adanya pemotongan suku bunga pada tahun 2019-2021, atau kenaikan suku bunga pada 2022-2024).
"Hingga saat ini, kami yakin pasar ekuitas dan obligasi Indonesia belum sepenuhnya memperhitungkan pemangkasan suku bunga BI, oleh karena itu kami merekomendasikan untuk mengejar aset yang sensitif terhadap suku bunga mulai dari obligasi pemerintah hingga saham perbankan," pungkas Satria.
(lav)