Logo Bloomberg Technoz

Pertama, perekonomian domestik terlihat semakin melemah saat ini.

"Pemulihan ekonomi saat ini sedang terhambat menurut hasil terbaru pelacakan aktivitas kami. Sentimen konsumen domestik dan rencana rekrutmen tenaga kerja juga menurun, menunjukkan bahwa pendorong utama ekonomi Indonesia sedang melambat," kata ekonom Bloomberg Economics Tamara Mast Henderson dan Andrej Sokol dalam catatannya.

Gelombang PHK di Indonesia semakin memuncak di tengah aktivitas manufaktur yang terkontraksi (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Indeks manufaktur RI terkontraksi dua bulan beruntun. Aktivitas rekrutmen tenaga kerja melemah. Sementara angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus meningkat. Sentimen keyakinan konsumen menengah terus tergerus akibat tekanan penghasilan dan ekspektasi terhadap perbaikan ekonomi ke depan yang menurun.

Kedua, harga minyak dunia makin melandai.

Sejak RDG terakhir Agustus lalu, harga minyak jenis West Texas Intermediate telah anjlok 10%, bahkan sempat menyentuh di bawah US$65 per barel. 

"Minyak adalah kunci bagi prospek inflasi dan rupiah. Bagi BI, [pelemahan harga minyak] bukan hanya menghilangkan beban inflasi dan mengikis potensi kenaikan BBM dalam waktu dekat," kata Head of Research Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro dalam catatannya.

Harga minyak yang lebih rendah juga bisa meningkatkan dinamika supply-demand valas yang bisa membawa rupiah lebih menguat lagi karena 30% permintaan dolar AS di pasar domestik berasal dari impor minyak.

Ketiga, arus masuk modal asing diperkirakan berlanjut sehingga mendukung penguatan rupiah.

Rupiah telah mencatatkan penguatan selama kuartal ini sebesar 6,47% quarter-to-date, salah satu yang terkuat di Asia setelah ringgit dan baht. Penguatan rupiah terutama didorong oleh banjir modal asing ke pasar domestik.

Selama Agustus saja, asing memborong Surat Berharga Negara (SBN) sekitar Rp38,7 triliun, yang menjadi nilai belanja bulanan terbesar oleh nonresiden sejak Januari 2023.

Sementara di pasar saham, sepanjang tahun ini, asing sudah memborong Rp31,47 triliun. Bahkan pada Jumat, belanja asing pecah rekor tertinggi sejak 2022, mencapai Rp17,9 triliun di pasar saham. 

"Dengan mata uang lebih kuat, cadangan devisa cukup dan inflasi jauh lebih rendah, BI seharusnya bisa lebih fokus mendukung pertumbuhan yang saat ini masih sangat rendah," kata Kunal Kundu, Ekonom Societe Generale dalam catatannya, dilansir dari Bloomberg.

Posisi cadangan devisa RI pada Agustus menyentuh level tertinggi dalam sejarah yang dicatat, sebesar US$150,2 miliar.

Arus masuk modal asing diprediksi masih akan membanjir didukung oleh pelebaran selisih imbal hasil investasi RI dengan Amerika yang saat ini mencapai 292 bps.

"Dalam jangka menengah, kami berlanjut positif untuk surat utang dan valuta Asia terutama di pasar-pasar dengan imbal hasil tinggi," kata Joevin Teo Chin-Ker, Head of Investment Amundi Singapura.

Bunga riil di negara-negara Asia (Dok. Bloomberg)

Bunga riil di seluruh ASEAN, menurutnya, sudah lebih tinggi dibanding tahun lalu yang memperlihatkan ada potensi penurunan bunga acuan yang akan memberi keuntungan pada pasar obligasi lokal.

Indonesia mencatat tingkat suku bunga riil 4,1% dengan 1.8 standar deviasi di atas rata-rata lima tahun terakhir, menunjukkan ada ruang yang cukup memadai bagi Bank Indonesia untuk memangkas bunga acuan.

Keempat, tekanan harga domestik makin turun.

Indonesia mencatat deflasi beruntun selama empat bulan terakhir, yang menjadi periode deflasi terpanjang sejak era krisis moneter 1998 silam. Menurut ekonom, deflasi empat bulan berturut-turut seharusnya bisa meyakinkan Perry dan kolega.

Perry selama ini dikenal setia pada kerangka penargetan inflasi (inflation target framework) dengan berpegang pada prinsip bahwa negara dengan inflasi lebih rendah secara teori harus memiliki mata uang lebih kuat dan pada akhirnya memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga, kata Satria yang memprediksi BI akan memangkas bunga acuan Rabu ini.

Deflasi di RI terjadi karena penurunan harga pangan bergejolak di mana tren itu diperkirakan bisa berlanjut pada bulan-bulan mendatang jika harga BBM ikut turun.

Kelima, pelemahan ekonomi global berlanjut.

Perekonomian China makin suram terindikasi dari berbagai data terakhir yang dilansir. Produksi pabrik, konsumsi serta investasi Tiongkok kesemuanya melambat lebih dalam dari perkiraan pada bulan lalu. Bahkan tingkat pengangguran di ekonomi terbesar kedua di dunia itu, melonjak ke level tertinggi enam bulan.

Ekonomi AS juga melempar sinyal serupa dengan tingkat pengangguran yang masih tinggi. Ketika dua kekuatan ekonomi utama dunia melemah, dampak ke perekonomian domestik tidak kecil. Kontraksi manufaktur dua bulan beruntun yang dialami Indonesia saat ini sebagian besar adalah karena terimbas situasi ekonomi global, terutama China yang menjadi mitra dagang terbesar RI.

Dalam RDG terakhir Agustus lalu, Perry telah menyoroti masalah tersebut. BI memperkirakan ekonomi global tahun ini tumbuh 3,2% dengan kecenderungan melambat. "Ekonomi AS diperkirakan mulai melambat semester II ini seiring penurunan permintaan domestik, sedangkan ekonomi Tiongkok belum kuat," kata Perry waktu itu.

"Reli harga obligasi AS dan China baru-baru ini juga merupakan reaksi terhadap perlambatan global yang sedang berlangsung," kata Satria.

Sejak RDG bulan lalu, yield US Treasury tenor 2Y yang sensitif terhadap kebijakan bunga acuan, telah turun signifikan dari 4% menjadi 3,5%, mencerminkan penurunan bunga acuan 50 bps The Fed. 

Keenam, rekam jejak Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam menentukan kebijakan yang mengejutkan pasar.

"Gubernur BI adalah seorang pragmatis yang cenderung bertindak mendahului pasar [ahead of the curve]. Perry mungkin telah mengisyaratkan penurunan BI rate pada Oktober nanti atau setelah The Fed. Namun, rekam jejaknya menunjukkan bahwa ia bisa bertindak berdasarkan data dan bertindak tegas yang mengejutkan pasar," imbuh Satria.

Pada kisaran 2019-2021, Perry mengejutkan pasar dengan penurunan bunga. Begitu juga pada periode 2022-2024 ketika menaikkan bunga acuan.

Data neraca dagang

Pandangan mayoritas pasar saat ini memang masih memperkirakan 'hold' untuk BI rate. Potensi BI mendahului The Fed mungkin akan membesar bila data neraca dagang yang dilansir hari ini memberi sentimen dukungan. Yakni apabila kinerja neraca dagang membaik sehingga memberi dukungan perbaikan pada transaksi berjalan.

"Bila rilis neraca perdagangan bulan Agustus jauh di atas konsensus sebesar US$1,9 miliar, sedang prediksi kami mencapai US$2,37 miliar. Meski harga CPO [minyak sawit mentah] dan nikel melambat, performa ekspor Agustus berpeluang ditopang oleh kenaikan harga batubara. Penurunan harga minyak mentah juga dapat mengurangi tekanan impor," kata Lionel Priyadi, Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital dan Analyst Nanda Rahmawati yang mempertahankan prediksi penurunan BI rate pada Oktober.

Hasil konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg sampai pagi ini memperkirakan, nilai surplus neraca dagang RI berpotensi naik jadi US$1,9 miliar dibanding Juli yang hanya US$472 juta.

Kinerja ekspor diprediksi melambat, hanya tumbuh 4% dibanding 6,46% pada Juli. Sedangkan impor juga diperkirakan lesu, tumbuh 9,3% pada Agustus dibanding bulan sebelumnya 11,07%.

Angka surplus neraca dagang yang membaik bisa memberi sentimen positif pada rupiah. Transaksi Berjalan RI sudah tertekan akibat keterpurukan kinerja perdagangan, di mana defisitnya naik jadi US$3,02 miliar pada kuartal II lalu. 

(rui/aji)

No more pages