Maka itu, dia mengimbau pemerintah untuk mendorong kebijakan pro-cyclical bagi kelas menengah demi membangkitkan konsumsi.
"Bisa dengan insentif potongan pajak sementara, BLT (bantuan langsung tunai). Rangsang uang beredar dari sisi moneter dan fiskal. Jangan malah kontraprodukti seperti PPN naik 12%,” tegasnya.
Dia menggambarkan ada kekhawatiran ketika masyarakat sudah tidak memiliki uang untuk berbelanja dan pengeluaran lainnya karena tidak ada pemasukan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga jumlah uang beredar menjadi semakin sedikit.
"Ini jenis deflasi yang berbahaya,” kata Putu.
BPS melaporkan data indeks harga konsumen dalam perhitungan bulanan (month-to-month/mtm) tercatat deflasi. Menurut BPS, hal itu disebabkan oleh penurunan harga oleh meningkatnya sisi penawaran oleh naiknya produktivitas atau disebut juga 'benign deflation', masih lebih baik dibandingkan bentuk 'malign deflation'.
Berdasarkan data Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia oleh S&P Global, nilai PMI manufaktur pada Agustus 2024 adalah 48,9, atau turun dari 49,3 pada Juli 2024. Jika PMI manufaktur di bawah 50, maka kondisi ekonomi Indonesia dikatakan sedang mengalami kontraksi.
Menurut dia, laporan tersebut menyebutkan bahwa ada penurunan di permintaan baru dan output selama tiga tahun yang mengakibatkan penurunan perekonomian di sektor manufaktur. Perusahaan menanggapinya dengan mengurangi karyawan, walaupun kontraksi ini dipercaya berlangsung sementara.
"Ini bentuk indikasi 'malign' yang saya khawatirkan, karena PHK karyawan jadi tidak ada pemasukan, tidak bisa spending, alias ada pengurangan di sisi permintaan,” jelas Putu.
(lav)