Bloomberg Technoz, Jakarta - Ekonom meminta pemerintah untuk tidak menerbitkan kebijakan yang kontraproduktif, termasuk menaikkan pajak, di tengah ekonomi lesu. Terlebih ketika jumlah kelompok masyarakat kelas menengah merosot di Indonesia.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah kelas menengah turun ke 47,85 juta penduduk (17,13%) pada 2024 dari 57,33 juta penduduk (21,45%) pada 2019.
Mengamati fenomena tersebut, Putu Rusta Adijaya, Peneliti Bidang Ekonomi lembaga pusat kebijakan publik, The Indonesian Institute khawatir penurunan jumlah masyarakat kelas menengah akan menimbulkan deflasi yang ganas atau disebut dengan istilah 'malign deflation'.
“Hal yang saya khawatirkan adalah akibat dari turunnya jumlah kelas menengah ini akan menimbulkan deflasi ke depan itu 'malign deflation', istilah deflasi karena penurunan dari sisi permintaan sebagai indikasi kemerosotan ekonomi," ujar Putu dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (15/9/2024).
“Kita tidak bisa menutup mata dengan kondisi tersebut. Ini nyata kalau masyarakat menengah tidak bisa spending karena tidak ada pemasukan. Pun spending, sudah habis lewat tabungan, tidak ada sisa, tidak bisa spending," lanjut putu.
Maka itu, dia mengimbau pemerintah untuk mendorong kebijakan pro-cyclical bagi kelas menengah demi membangkitkan konsumsi.
"Bisa dengan insentif potongan pajak sementara, BLT (bantuan langsung tunai). Rangsang uang beredar dari sisi moneter dan fiskal. Jangan malah kontraprodukti seperti PPN naik 12%,” tegasnya.
Dia menggambarkan ada kekhawatiran ketika masyarakat sudah tidak memiliki uang untuk berbelanja dan pengeluaran lainnya karena tidak ada pemasukan akibat pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga jumlah uang beredar menjadi semakin sedikit.
"Ini jenis deflasi yang berbahaya,” kata Putu.
BPS melaporkan data indeks harga konsumen dalam perhitungan bulanan (month-to-month/mtm) tercatat deflasi. Menurut BPS, hal itu disebabkan oleh penurunan harga oleh meningkatnya sisi penawaran oleh naiknya produktivitas atau disebut juga 'benign deflation', masih lebih baik dibandingkan bentuk 'malign deflation'.
Berdasarkan data Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia oleh S&P Global, nilai PMI manufaktur pada Agustus 2024 adalah 48,9, atau turun dari 49,3 pada Juli 2024. Jika PMI manufaktur di bawah 50, maka kondisi ekonomi Indonesia dikatakan sedang mengalami kontraksi.
Menurut dia, laporan tersebut menyebutkan bahwa ada penurunan di permintaan baru dan output selama tiga tahun yang mengakibatkan penurunan perekonomian di sektor manufaktur. Perusahaan menanggapinya dengan mengurangi karyawan, walaupun kontraksi ini dipercaya berlangsung sementara.
"Ini bentuk indikasi 'malign' yang saya khawatirkan, karena PHK karyawan jadi tidak ada pemasukan, tidak bisa spending, alias ada pengurangan di sisi permintaan,” jelas Putu.
(lav)