“Kami menyerukan agar aparat keamanan segera menghentikan operasi militer dengan status siaga tempur TNI, mengedepankan pendekatan dialog dengan kelompok pro-kemerdekaan dan pihak-pihak terkait untuk mencegah potensi pelanggaran HAM dan krisis kemanusiaan yang lebih besar," kata dia.
Menurutnya, pembebasan sandera harus dilakukan tanpa menimbulkan korban sipil.
Dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyebutkan bahwa pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI merupakan kewenangan presiden dan harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Data yang diperoleh Amnesty mengungkapkan bahwa sejak 2018 hingga 2022, terdapat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil.
Selama periode 2018 hingga 2022, jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, 9 anggota Polri dari 8 kasus dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.
Diketahui Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menaikkan status operasi TNI dari komando teritorial menjadi siaga tempur. Peningkatan status ini dilakukan setelah terjadinya serangan dari kelompok pro-kemerdekaan Papua pada Sabtu 15 April 2023 yang telah menewaskan seorang prajurit TNI, empat orang luka-luka dan empat orang lainnya hilang di Nduga, Papua Pegunungan.
Insiden ini terjadi saat TNI dikabarkan tengah mencari pilot Susi Air asal Selandia Baru, Phillip Mehrtens yang disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pimpinan Egianus Kogoya pada akhir pekan yakni Sabtu (15/4/2023). Sementara pilot Susi Air sudah ditawan Kogoya Cs sejak 7 Februari 2023.
(ezr)