Bloomberg Technoz, Jakarta - Bank Indonesia telah menggelar lelang rutin Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) hari Jumat ini dan mendapatkan sambutan cukup besar dari pelaku pasar, terlihat dari kenaikan permintaan yang masuk.
Di tengah sentimen pasar yang cenderung positif terhadap aset-aset emerging market seperti Indonesia, bank sentral juga kembali memangkas tingkat bunga diskonto SRBI dalam lelang hari ini, bahkan hingga ke level di bawah 7%, pertama kali dalam lima bulan terakhir.
Tingkat bunga diskonto untuk SRBI-6M dimenangkan di 6,99%, pertama kalinya rate tenor itu turun di bawah 7% sejak April lalu. Bukan hanya tenor 6 bulan yang turun, tenor lain yakni 9 bulan dan 12 bulan juga terpangkas. SRBI-9M di 7,08% dari 7,11% pada lelang sebelumnya. Sedang tenor yang kerap jadi acuan, SRBI-12M, turun ke 7,11% dari 7,15% pada lelang sebelumnya.
Penurunan bunga SRBI itu memicu spekulasi di pasar, bahwa BI mungkin akan mendahului Federal Reserve (The Fed) dalam memangkas bunga acuan pada hari Rabu pekan depan.
Dalam risalah lelang yang dipublikasikan siang ini, tercatat bahwa permintaan masuk atau incoming bids di lelang SRBI mencapai Rp33,85 triliun. Angka itu meningkat 87,4% dibanding lelang pekan sebelumnya.
Sementara permintaan imbal hasil dari investor juga lebih rendah di kisaran 7,08-7,20% untuk tenor terpanjang. Jauh menurun dibanding kisaran permintaan diskonto lelang sebelumnya di rentang 7,11-7,20%.

Penurunan batas bawah permintaan bunga diskonto itu dipengaruhi oleh makin landainya yield obligasi global di mana Treasury tenor pendek 2Y hari ini bahkan menyentuh 3,58%. Alhasil, BI pun akhirnya memenangkan bunga diskonto di level 7,11%, sudah jauh turun dibanding posisi bunga SRBI akhir Juli lalu di 7,25%.
Pergerakan SRBI selama ini kerap dianggap sebagai proksi BI rate secara de facto di tengah dinamika pasar dalam hampir setahun terakhir yang banyak terombang-ambing spekulasi arah kebijakan bunga global. SRBI diterbitkan untuk menarik dana asing masuk melalui bunga diskonto yang tinggi, jauh melampaui level policy rate hingga sempat menyentuh 7,52%.
Sinyal dari hasil lelang SRBI hari ini akan menjadi 'bekal' penting pelaku pasar dalam memprediksi keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang digelar 17-18 September pekan depan.
Mengacu pada hasil konsensus ekonom yang disurvei oleh Bloomberg, median estimasi policy rate pekan depan adalah 'hold' atau tetap di level saat ini di 6,25%.
Namun, semakin banyak analis yang memprediksi BI bisa jadi mendahului langkah The Fed memangkas bunga acuan. Terlebih rupiah sudah jauh lebih menguat dan stabil sebulan terakhir, di tengah arus masuk modal asing yang terus berlanjut serta sinyal termutakhir dari data ekonomi AS yang mendukung skenario pemangkasan bunga The Fed.
Dari 21 ekonom yang disurvei oleh Bloomberg, lima analis di antaranya memprediksi BI akan memangkas bunga acuan pekan depan ke level 6%.
"Kami tidak lagi percaya bahwa ada manfaatnya bagi BI menunggu The Fed memangkas bunga acuan lebih dulu. Karena itu diperkirakan akan terjadi beberapa jam kemudian," kata Ekonom HSBC Pranjul Bhandari dan Aayushi Chaudary dalam catatannya hari Kamis, dilansir oleh Bloomberg.
Rupiah telah mencatatkan penguatan nyaris 6% selama kuartal III ini (quarter-to-date) dan menghapus seluruh kerugian sepanjang tahun. Dana asing juga terus membanjir, menyerbu saham serta surat utang negara.
Selama Agustus saja, asing membelanjakan sekitar Rp38,7 triliun, nilai belanja bulanan terbesar oleh nonresiden sejak Januari 2023. Sementara di pasar saham, sepanjang tahun ini, asing sudah memborong Rp33,46 triliun di semua pasar. Bahkan kemarin, asing belanja sampai Rp1,52 triliun hingga membawa IHSG mencetak rekor tertinggi baru.
"Dengan mata uang lebih kuat, cadangan devisa cukup dan inflasi jauh lebih rendah, BI seharusnya bisa lebih fokus mendukung pertumbuhan yang saat ini masih sangat rendah," kata Kunal Kundu, Ekonom Societe Generale dalam catatannya.
Menurutnya, satu-satunya alasan bagi BI menahan lagi tingkat bunga dalam pertemuan pekan depan adalah karena persoalan 'timing'. Itu karena BI harus mengumumkan keputusannya pada Rabu siang, hanya berjarak beberapa jam sebelum The Fed mengumumkan policy rate pada Kamis dini hari waktu Jakarta.

Ekonom Bloomberg Economics Tamara M. Henderson sebelumnya memberikan penilaian, apabila menunjuk pada data inflasi Agustus yang angkanya lebih landai, deflasi empat bulan beruntun, disusul outlook indeks harga konsumen ke depan yang lebih rendah, ruang penurunan BI rate sudah terbuka dalam RDG September ini.
"Inflasi inti dan inflasi IHK Indonesia yang jinak pada Agustus, ditambah prospek inflasi yang lebih lemah ke depan, juga potensi pemangkasan bunga The Fed, bila digabungkan itu membuka peluang bagi BI memangkas bunga acuan pada bulan ini," kata Tamara.
BI sudah berulang kali melempar sinyal bahwa peluang penurunan bunga acuan itu sudah ada dan berulang pula menyatakan akan menunggu The Fed lebih dulu. Namun, dengan data inflasi makin landai hal itu kemungkinan akan mengubah pertimbangan Thamrin.
Defisit transaksi berjalan
Sementara sebagian analis lain menilai, BI sepertinya akan memilih menahan dulu tingkat bunga di level saat ini. "Kemungkinan [BI menurunkan bunga acuan] setelah The Fed [pivot]," kata Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Priyadi.
Defisit transaksi berjalan yang makin melebar, mungkin menjadi salah satu hal yang menahan langkah BI mendahului The Fed.
Neraca Pembayaran kuartal lalu memang membukukan perbaikan dengan nilai defisit yang mengecil menjadi tinggal US$600 juta dari tadinya mencapai US$6 miliar dolar AS pada kuartal I-2024.
Namun, penting untuk dicatat bahwa perbaikan nilai defisit itu kebanyakan disumbang oleh surplus Transaksi Modal dan Finansial, yang banyak berasal dari arus hilir mudik dana asing jangka pendek. Pada kuartal II lalu neraca ini membukukan surplus US$2,7 miliar, naik dari tadinya mencetak defisit hingga US$1,6 miliar.
Sedang pada saat yang sama, Transaksi Berjalan yang mencerminkan pasokan valas mengendap dalam periode lebih lama karena berasal dari perdagangan barang/jasa atau pariwisata, mencatat defisit yang semakin besar yaitu mencapai US$3,02 miliar. Melonjak dibanding kuartal 1-2024 yang sebesar US$2,40 miliar. Angka itu direvisi lebih besar dari data sebelumnya US$2,16 miliar.
Besar defisit transaksi berjalan pada kuartal II juga lebih besar dari prediksi pasar yang memperkirakan angkanya di kisaran US$2,44 miliar. Angka itu setara dengan 0,88% dari Produk Domestik Bruto. Sementara bila menghitung 12 bulan berjalan, defisit transaksi berjalan RI mencapai 0,58%, menurut hitungan Mega Capital Sekuritas.
Analis memperkirakan, defisit transaksi berjalan berisiko semakin melebar pada kisaran 1%-1,1% dari PDB pada akhir tahun ini. Penyebabnya, penurunan surplus neraca dagang pada Juli yang tak terduga menjadi US$472 juta dari tadinya US$2,39 miliar.
"Jika Indonesia tidak mampu mencatat surplus perdagangan kumulatif minimal sebesar US$6,5 miliar pada Agustus, defisit transaksi berjalan kemungkinan akan melampaui kisaran target BI yaitu di angka surplus 0,1% hingga defisit 0,9% dari PDB," kata Lionel dalam catatannya.
Bila skenario itu terjadi, akan sulit bagi BI untuk memangkas bunga acuan sebanyak dua kali tahun ini masing-masing 25 bps. Analis mempertahankan prediksi bahwa BI hanya akan menurunkan BI rate sebanyak 25 bps di sisa tahun ini.
(rui)