Logo Bloomberg Technoz

Dengan demikian, Indonesia pada akhir dekade ini diharapkan sudah bisa fokus pada lima sektor utama untuk penerapan awal dari teknologinya, yakni pada industri (i) makanan dan minuman, (ii) tekstil dan pakaian, (iii) otomotif, (iv) kimia, dan (v) elektonik.

Sektor-sektor ini dipilih menjadi fokus setelah melalui evaluasi dampak ekonomi dan kriteria kelayakan implementasi yang mencakup ukuran PDB, perdagangan, potensi dampak terhadap industri lain, besaran investasi, dan kecepatan penetrasi pasar.

“Melalui komitmen serta partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya kementerian dan lembaga pemerintah lainnya, kemitraan dengan pihak swasta dan pelaku industri terkemuka, investor, institusi pendidikan lembaga riset, kami yakin cetak biru Making Indonesia 4.0 dapat dijalankan dengan sukses,” kata Airlangga. 

Kontribusi manufaktur ke PDB Indonesia (Bloomberg Technoz/Tim Infografis)

Jauh Panggang dari Api

Meski upaya pemerintah untuk mengembangkan industri manufaktur berbasis teknologi mutakhir tampak menjanjikan, pada kenyataannya selama kurang lebih 1 dasawarsa terakhir, rata-rata laju pertumbuhan PDB industri manufaktur di dalam negeri hanya berkutat sekitar 3,18%. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), pada 2017 pertumbuhan PDB industri manufaktur mencapai masa terbaiknya yakni diangka 6,15%, tetapi pada 2020 terjadi kontraksi hingga minus 2,93%.

Setelahnya, industri manufaktur Tanah Air perlahan sempat bangkit, tetapi setahun menjelang berkahirnya masa jabatan Jokowi, laju pertumbuhan PDB manufaktur justru terpelanting di angka 1,92% pada 2023.

Hal ini juga didukung dengan data proporsi nilai tambah sektor industri manufaktur terhadap PDB Indonesia, di mana secara rata-rata, 10 tahun terakhir hanya berada diangka 21,09.

Adapun, trennya juga terus mengalami penuran sejak 2014. Proporsi nilai tambah industri manufaktur terbaik hanya terjadi pada 2014 di angka 21,65 dan selebihnya terus mengalami penurunan. Terbaru, data terakhir 2023 menunjukkan sektor ini hanya mampu berkontribusi di angka 20,39 meski angka masih bersifat sementara.

Jika menilik realisasi investasi Indonesia selama kurun 1 dekade terakhir, padahal, penanaman modal yang masuk ke Tanah Air mencapai Rp8.198,02 triliun. Menurut Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dari akumulasi realisasi investasi tersebut, nyatanya juga tidak serta merta membuat industri manufaktur merasakan angin segar. 

Provinsi Basis Industri Manufaktur RI (Bloomberg Technoz/Tim Infografis)

Mengacu kepada data BPS mengenai perkembangan indeks produksi industri manufaktur 2023, industri makanan; industri logam dasar, dan industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia merupakan industri utama penopang sektor manufaktur Indonesia.

Jawa barat menjadi penyumbang share terbesar sebanyak 23,18% terhadap industri manufaktur nasional, yang utamanya didukung oleh industri kendaraan bermotor. Lalu, 13,44% disumbang oleh industri manufaktur di provinsi Jawa Timur dengan dominasi industri makanan. Selanjutnya, Banten menyumbang 10,42%, di mana industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia menjadi unggulan.

Namun, bila melihat data capaian Purchasing Managers' Index (PMI) S&P Global selama kurun 1 tahun ke belakang, utamanya sejak 3 bulan terakhir, kinerja manufaktur Indonesia makin mengalami kontraksi; yakni di angka 50,7 pada Juni 2024; 49,3 pada Juli 2024; dan 48,9 pada Agustus 2024.

Bahkan, capaian ini mengalahkan PMI pada Agustus 2023 yang mencapai indeks tertingginya di angka 53,9.

Data PMI manufaktur Jan—Des 2023 dan Jan—Ags 2024 (Bloomberg Technoz/Tim Infografis)

Serapan Tenaga Kerja

Melihat fenomena degradasi kinerja manufaktur domestik, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat banyak faktor yang menyebabkan industri di Indonesia makin mengalami penurunan.

Bahkan, laju pertumbuhannya secara rata-rata juga hanya di bawah 5% dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu faktornya, menurut Tauhid, adalah melemahnya sisi penyerapan tenaga kerja.

“Banyak faktor, menurut saya, tetapi intinya ya terjadi pelemahan dari peran manufaktur dalam perekonomian, dan saya kira ini indikasi dari sisi ini tentu saja menurunkan kontribusi manufaktur dalam penyerapan tenaga kerja, kemudian menurunkan nilai tambah mendorong kondisi kondisi kesejahteraan masyarakat yang sangat bergantung pada manufaktur,” jelas Tauhid ketika dihubungi oleh Bloomberg Technoz.

Adapun, sektor industri manufaktur yang menurutnya paling terdampak karena adanya penurunan PDB ini adalah tekstil dan produk tekstil  (TPT). Memang, bukan tanpa alasan PDB manufaktur—khususnya pada 2023 — mengalami kemerosotan.

Pasalnya, terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri TPT lantaran jumlah pesanan yang diterima oleh perusahaan tekstil belum mengalami perbaikan, bahkan terdapat perusahaan tekstil yang belum mendapatkan pesanan sama sekali.

Banyak perusahaan juga telah berusaha untuk memproduksi tanpa pesanan, tetapi apa daya, produksi tersebut gagal diserap oleh pasar.

Sayangnya, bukannya berangsur membaik, keadaan industr TPT justru kian suram setelah akhir Mei 2024 kembali berembus kencang kabar badai PHK di industri padat karya ini.

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024 perubahan ketiga atas Permendag No. 36/2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor disebut-sebut sebagai biang kerok industri TPT lumpuh. Walhasil, sejumlah industri kecil dan menengah (IKM) yang bergerak di sektor tersebut tidak dapat bertahan untuk berproduksi.

Pekerja di pabrik tekstil PT Pan Brothers Tbk (PBRX) di Solo, Jawa Tengah./Bloomberg-Muhammad Fadli

Sekadar informasi, Kemendag resmi menerbitkan Permendag No. 8/2024 pada Jumat (17/5/2024). Beleid itu ditujukan untuk membebaskan sekitar 26.000 kontainer yang sebelumnya tertahan di sejumlah pelabuhan.

Secara terperinci, terdapat 17.304 kontainer yang tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok dan 9.111 kontainer di Pelabuhan Tanjung Perak.

Adapun, kontainer yang tertahan itu terdiri dari komoditas besi baja, tekstil, produk tekstil, produk kimia, produk elektronik, dan komoditas lainnya yang dalam peraturan sebelumnya memerlukan perizinan impor (PI) atau pertimbangan teknis (pertek) karena termasuk dalam daftar larangan dan/atau pembatasan (lartas) impor.

Berkaitan dengan hal tersebut, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perindustrian Bobby Gafur Umar kepada Bloomberg Technoz menyampaikan kritiknya bahwa kebijakan impor yang berlaku di Indonesia masih kurang tepat dan membius kinerja manufaktur.

Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk tegas dalam memiliki kebijakan tepat, serta siap, agar pengetatan impor —terutama pada produk yang dibutuhkan untuk produksi industri dalam negeri — tidak terganggu, salah satunya dengan penerapan syarat pertek dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

"Jadi ada pertimbangan teknis dari Kemenperin, karena Kemenperin ini kan yang mengawal manufaktur di dalam negeri. Jadi mekanisme itu harus jalan, jadi jangan sampai ada celah yang akibat kebijakan jangka pendek, mengakibatkan pasar yang sekarang ini menjadi harapan untuk menyelamatkan industri nasional terganggu," tegasnya. 

Sampel Industri Manufaktur Nasional Menurut KBLI, 2023 (Bloomberg Technoz/Tim Infografis)

Revolusi Jalan di Tempat

Terangkum dalam 1 dekade terakhir, hasil pemerintahan Jokowi dalam memperkuat industri manufaktur melalui gembar-gembor Revolusi Industri 4.0 belum cukup kasat mata. Bahkan, manufaktur justru mengalami kemunduran kontribusi terhadap perekonomian atau bisa disebut dengan deindustrialisasi.

Kembali, Ekonom Senior Indef Tauhid Ahmad menilai jargon Revolusi Industri 4.0 ini hanya berjalan di tempat selama beberapa tahun terakhir, bahkan perkembangannya menurutnya sangat terbatas.

Berkaitan dengan hal tersebut, dia menekankan transformasi menuju Industri 4.0 membutuhkan investasi yang besar, terutama dalam hal penggunaan internet sebagai basis operasional, bukan sekadar teknologi informasi.

Adapun, berkaitan dengan deindustrialisasi yang kemungkinan dialami Indonesia, Tauhid kembali menegaskan bahwa penurunan kontribusi sektor industri manufaktur terjadi karena kurangnya integrasi pengembangan teknologi, riset, dan pendanaan di sektor industri.

Selain itu, mudahnya barang impor dengan teknologi dan harga yang lebih kompetitif masuk ke Indonesia juga turut menggerus pasar domestik.

Meski demikian, Tauhid tetap melihat bahwa masih ada secercah harapan bagi sektor manufaktur Tanah Air untuk bisa kembali bangkit, utamanya pada pada industri besi dan baja, dan produk turunan PVA [polimer sintetik], serta industri elektronik.

“[Sementara] saya kira untuk industri basic, [seperti] industri makanan dan produk olahan itu yang saya kira bisa [juga] comeback. Walaupun, pada saat yang sama, itu berat; karena harus ada teknologi, harus juga bermitra dengan pasar ekspor, harus juga dengan global, [tetapi] saya kira bisa oke,” pungkasnya.

(prc/wdh)

No more pages