“Dan juga yang masih perlu kita tingkatkan adalah penguatan di institusi. Jadi saya dengan Pak Gubernur rapat, kebetulan Kepala Departemen Keuangan Syariah kami juga ditantang, berapa sih PDB kita yang syariah compliance,” ucap Destry.
Terkait itu, ia menekankan bahwa masih terdapat berbagai aspek yang dapat dioptimalisasi pada sektor keuangan syariah. Sebagai contoh, begitu banyak masyarakat yang melakukan zakat melalui badan amil zakat, namun hal ini tak terekam oleh pemerintah.
Jika zakat dapat terekam dalam komponen Produk Domestik Bruto (PDB) maka dapat memberikan gambaran berdampaknya zakat terhadap perekonomian secara umum dan bagi masyarakat itu sendiri.
“Contoh tadi saya masuk sudah ada QRIS di depan. Begitu mudah kita mau sedekah mau infak. Bayangkan ribuan orang mau datang ke masjid ini dan bersedekah Rp5 ribu satu orang itu rutin. Berapa banyak dana yang dihasilkan,” papar Destry.
“Ini tentunya dengan adanya penyaluran yang targeted dampaknya luar biasa. Kalau bisa dihitung ini jadi submer pertumbuhan dan masuk PDB syariah kita,” lanjutnya.
Sebelum itu, Destry menyatakan institusi keuangan syariah termasuk instrumen berbasis syariah relatif lebih kuat dibandingkan institusi dan instrumen konvensional dalam menghadapi krisis.
Destry menceritakan saat krisis finansial 1997-1998 institusi dan instrumen keuangan syariah lebih tahan menghadapi krisis karena dalam keuangan syariah terdapat underlying asset yang menjadi dasar penerbitan suatu instrumen syariah.
“Kenapa? Karena dalam keuangan syariah kita melihat atau tau yang namanya ada underlying asset dengan tentu nanti modelnya ijarah, mudharabah, dan musyarakah,” tutur Destry dalam Festival Ekonomi Syariah Jawa 2024 yang disiarkan virtual, Jumat (13/9/2024).
Destry menyatakan underlying asset yang menjadi dasar penerbitan suatu instrumen syariah membuat instrumen tersebut terhindar dari potensi bergelembung (bubble) atau kenaikan harga melebihi nilai fundamentalnya.
(azr/roy)