Logo Bloomberg Technoz

“Dalam suatu bisnis pasti ada risiko, tetapi saya yakin bisnis energi terbarukan memiliki potensi yang menguntungkan karena sudah menjadi tren dan kebutuhan pengembangan energi terbarukan ini,” ujarnya.

Dimintai konfirmasi secara terpisah, ekonom energi dari Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti mengatakan, idealnya, Pertamina menahan terlebih dahulu proyek tersebut untuk melihat kepastian hukum dan bisnis di Bangladesh.

Kepastian hukum ini, kata Yayan, meliputi kepastian perencanaan bisnis yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah yang mungkin bisa menggeser kebijakan dari kesepakatan sebelumnya.

“Hal yang paling penting yaitu hold terhadap aktivitas proyek yang ada dan melakukan revaluasi terhadap kerangka proyek yang ada setelah kondisi politik kembali stabil,” ujarnya.

“Setelah stabil, maka lakukan due diligence agar posisi risiko dan revaluasi aset proyek akan seperti apa.”

Pertamina NRE sendiri mengatakan masih wait and see soal kelanjutan proyek PLTS dengan kapasitas 500 MW di daerah Moheshkhali dan di berbagai area lain yang potensial di Bangladesh.

Corporate Secretary Pertamina NRE Dicky Septriadi mengamini perseroan tidak bisa serta-merta menghentikan kerja sama yang termaktub dalam nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) bersama Coal Power Generation Company Bangladesh Limited (CPGCBL) yang baru ditandatangani pada Juli 2024.

“Konteksnya adalah kami percaya setiap negara pasti punya inisiatif untuk bisa segera meredam situasi politik yang ada,” ujar Dicky kepada Bloomberg Technoz, Kamis (12/9/2024).

Selain itu, Dicky menggarisbawahi MoU dengan CPGCBL – yang diketahui merupakan anak usaha Bangladesh Power Development Board (BPDB) – juga dilandasi dengan MoU antara kedua negara.

Dengan demikian, perseroan juga melakukan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri mengenai kondisi di Bangladesh. Bahkan, perseroan juga sudah menerima peringatan untuk berhati-hati dalam melakukan transaksi perniagaan dengan Bangladesh.

Di lain sisi, Dicky mengatakan kelanjutan dari MoU tersebut saat ini masih dalam tahapan melakukan studi untuk menentukan lokasi yang tepat dalam membangun PLTS, nilai investasi dan hal-hal teknis lainnya.

“Secara ini kan juga kita tidak dirugikan, belum masuk ke material komersil, kita belum ada apapun di sana,” ujarnya.

Kementerian Perdagangan sebelumnya memperingatkan pengusaha Indonesia untuk berhati-hati dalam melakukan transaksi perniagaan dengan Bangladesh, menyusul perkembangan situasi ekonomi politik di negara Asia Selatan tersebut.

Direktur Fasilitasi Ekspor dan Impor Kemendag Iskandar Panjaitan mengatakan, sebelumnya, Duta Besar RI di Dhaka telah mengirimkan surat Nomor B-00139/Dhaka/240822 tentang Perkembangan Situasi Ekonomi Bangladesh Pascamundurnya Perdana Menteri Sheikh Hasina dan Antisipasi Transaksi Perbankan.

“Dalam surat tersebut disampaikan, Bangladesh sedang menghadapi krisis likuiditas. Kondisi ini diperburuk oleh pembatasan penarikan tunai dari bank sentral Bangladesh yaitu Bank Bangladesh,” paparnya melalui siaran pers, dikutip Rabu (11/9/2024).

Di sektor energi, Bangladesh Power Development Board (BPDB) sedang menghadapi beban utang sebesar 45.000 taka (setara US$4 miliar). Hal ini menjadi isu kritis bagi pemerintahan sementara yang baru dibentuk.

Pada perkembangan lain, Kemendag juga menyampaikan empat langkah antisipatif yang dapat dilakukan para pelaku usaha Indonesia yang bertransaksi dengan pihak Bangladesh, salah satunya sektor energi.

Untuk sektor energi, Kemendag mengimbau pelaku usaha Indonesia untuk menghentikan rencana transaksi atau kerja sama dengan BPDB yang saat ini sedang menunggak pembayaran kepada pihak swasta.

Selain itu, terdapat risiko terjadinya penundaan pembayaran kepada perusahaan Indonesia yang telah melakukan transaksi dalam mendukung kebutuhan energi di Bangladesh.

(dov/wdh)

No more pages