Di lain sisi, Dicky nengatakan kelanjutan dari MoU tersebut saat ini masih dalam tahapan melakukan studi untuk menentukan lokasi yang tepat dalam membangun PLTS, nilai investasi dan hal-hal teknis lainnya.
“Secara ini kan juga kita tidak dirugikan, belum masuk ke material komersil, kita belum ada apapun di sana,” ujarnya.
Terakhir, Dicky mengatakan proyek PLTS 500 MW tersebut bersifat jangka panjang. Dengan demikian, Pertamina NRE berharap kondisi internal Bangladesh kembali stabil, sehingga kolaborasi antar perusahaan bisa terus berlanjut.
Membangun PLTS di Bangladesh
Dicky mengatakan Pertamina NRE dalam jangka panjang bakal membangun PLTS di Bangladesh melalui MoU tersebut. Hal ini terjadi karena perseroan melihat potensi permintaan listrik yang besar dari Bangladesh.
“[Listrik di Bangladesh] ada jam-jaman tuh. Jadi misalkan di jam berapa itu listrik itu mati, nanti itu baru hidup lagi ketika yang misalkan di kecamatan sebelah dimatiin, jadi bergantian mereka,” ujarnya.
Terlebih, kata Dicky, Bangladesh juga memiliki inisiatif domestik untuk mencapai bauran energi baru dan terbarukan (EBT).
Kementerian Perdagangan sebelumnya memperingatkan pengusaha Indonesia untuk berhati-hati dalam melakukan transaksi perniagaan dengan Bangladesh, menyusul perkembangan situasi ekonomi politik di negara Asia Selatan tersebut.
Direktur Fasilitasi Ekspor dan Impor Kemendag Iskandar Panjaitan mengatakan, sebelumnya, Duta Besar RI di Dhaka telah mengirimkan surat Nomor B-00139/Dhaka/240822 tentang Perkembangan Situasi Ekonomi Bangladesh Pascamundurnya Perdana Menteri Sheikh Hasina dan Antisipasi Transaksi Perbankan.
“Dalam surat tersebut disampaikan, Bangladesh sedang menghadapi krisis likuiditas. Kondisi ini diperburuk oleh pembatasan penarikan tunai dari bank sentral Bangladesh yaitu Bank Bangladesh,” paparnya melalui siaran pers, dikutip Rabu (11/9/2024).
Di sektor energi, Bangladesh Power Development Board (BPDB) sedang menghadapi beban utang sebesar 45.000 taka (setara US$4 miliar). Hal ini menjadi isu kritis bagi pemerintahan sementara yang baru dibentuk.
Pada perkembangan lain, Kemendag juga menyampaikan empat langkah antisipatif yang dapat dilakukan para pelaku usaha Indonesia yang bertransaksi dengan pihak Bangladesh, salah satunya sektor energi.
Untuk sektor energi, Kemendag mengimbau pelaku usaha Indonesia untuk menghentikan rencana transaksi atau kerja sama dengan BPDB yang saat ini sedang menunggak pembayaran kepada pihak swasta.
Selain itu, terdapat risiko terjadinya penundaan pembayaran kepada perusahaan Indonesia yang telah melakukan transaksi dalam mendukung kebutuhan energi di Bangladesh
(dov/wdh)