Meskipun demikian, menurut AFFA Intellectual Property Rights, dalam 5 tahun terakhir, hubungan perdagangan Indonesia dengan Bangladesh juga disebut terus meningkat. Pertumbuhannya mencapai 19% dengan perolehan total mencapai US$1,7 miliar.
Walaupun transaksi terbesar kedua negara berasal dari government to government (G2G) seperti proyek pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) dan transportasi, seperti pengadaan gerbong kereta api, tetapi produk-produk lemak dan minyak nabati, garam, pulp dari kayu, kapas, dan plastik tercatat memiliki nilai ekspor yang tinggi, dengan nilai total melampaui US$1 miliar.
Sekadar catatan, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diolah Kemendag, total nilai perdagangan Indonesia-Bangladesh mengalami pertumbuhan 22,46% sepanjang 2019—2023. Ekspor ke negara Asia Selatan bertumbuh US$1,91 miliar pada 2019 menjadi US$3,57 miliar tahun lalu.
Impor RI dari Bangladesh relatif fluktuatif sepanjang periode yang sama, atau dari US$96,1 juta pada 2019 menjadi US$95 juta pada 2023. Dengan demikian, Indonesia masih surplus dalam perniagaan bilateral dengan Bangladesh, dengan nilai mencapai US$3,48 miliar pada tahun lalu.
Namun, setahun terakhir, perdagangan RI-Bangladesh mengalami kemerosotan. Sepanjang Januari—Juli 2024, ekspor Indonesia ke Bangladesh mencapai US$1,61 miliar, anjlok 12,26% dari rentang yang sama tahun lalu senilai US$1,90 miliar.
Impor pada rentang yang sama juga turun 19,94% atau dari US$55,2 juta menjadi US$44,2 juta. Dengan demikian, surplus neraca perdagangan RI terhadap Bangladesh sepanjang Januari—Juli 2024 mencapai US$1,58 miliar, anjlok 11,78% dari torehan US$1,79 miliar periode yang sama tahun lalu.
Diberitakan sebelumnya, Duta Besar RI di Dhaka telah mengirimkan surat Nomor B-00139/Dhaka/240822 tentang Perkembangan Situasi Ekonomi Bangladesh Pascamundurnya Perdana Menteri Sheikh Hasina dan Antisipasi Transaksi Perbankan.
"Dalam surat tersebut disampaikan, Bangladesh sedang menghadapi krisis likuiditas. Kondisi ini diperburuk oleh pembatasan penarikan tunai dari bank sentral Bangladesh yaitu Bank Bangladesh," kata Direktur Fasilitasi Ekspor dan Impor Kemendag Iskandar Panjaitan, Rabu (12/9/2024).
Belum lagi, inflasi di Bangladesh telah mencapai 11,6% dan tekanan pada nilai tukar mata uang taka menembus rekor tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
Di sektor energi, Bangladesh Power Development Board (BPDB) sedang menghadapi beban utang sebesar 45.000 taka (setara US$4 miliar). Hal ini menjadi isu kritis bagi pemerintahan sementara yang baru dibentuk.
"Mencermati perkembangan situasi terkini di Bangladesh, khususnya di sektor ekonomi pascamundurnya Perdana Menteri Sheikh Hasina, kami mengimbau para pelaku usaha Indonesia untuk berhati-hati dalam bertransaksi dengan lembaga maupun perseorangan dari Bangladesh," kata Iskandar.
"Kami menyampaikan hal tersebut untuk mencegah kerugian yang dapat ditimbulkan dari transaksi perbankan dengan Bangladesh karena kondisi politik dan ekonomi saat ini."
(prc/wdh)