Logo Bloomberg Technoz

Penurunan proporsi mengindikasikan, meski pendapatan disposable meningkat, akan tetapi secara riil nilainya untuk konsumsi relatif menurun. Di mana dari total nilai PDB per kapita, hanya sebesar 72,7% saja yang bisa digunakan untuk konsumsi.

"Penurunan pendapatan riil dipengaruhi oleh tekanan inflasi sebagai akibat dari ketidakpastian global seperti pandemi Covid-19, [dampak] perang Rusia-Ukraina, terjadinya perang dagang juga kenaikan biaya hidup secara umum," jelas Scenaider C.H. Siahaan, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas dalam rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD), beberapa waktu lalu.

Proporsi disposable income terhadap PDB per kapita Indonesia terus menurun (Bloomberg Technoz)

Melihat data historis, inflasi Indeks Harga Konsumen rata-rata selama rentang 10 tahun terakhir, tercatat 3,72% dengan titik tertinggi terjadi pada Desember 2014 di angka 8,36%. Namun, inflasi harga pangan bergejolak lebih tinggi, rata-rata sebesar 4,92% di mana pada akhir 2014 sempat menyentuh 11,91% dan pada pertengahan 2022 pernah 11,47% juga pada Maret lalu di 10,33%.

Lonjakan harga pangan seperti beras dua tahun terakhir juga berdampak pada tekanan konsumsi masyarakat. Pendapatan semakin banyak terkuras untuk biaya kebutuhan primer karena harga kian melonjak tinggi.

Harga beras sebagai contoh, sempat naik sampai lebih dari 20% beberapa waktu lalu. Padahal beras, juga kelompok pangan lain, memakan porsi terbesar pengeluaran terutama di kelas ekonomi rentan dan miskin.

Butuh Dukungan

Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk David Sumual, menilai, pemberlakuan sederet rencana kebijakan mulai dari kenaikan PPN jadi 12%, pembatasan subsidi BBM, pewajiban asuransi kendaraan dan iuran dana pensiun pekerja, hingga pembatasan subsidi tarif kereta (KRL), bisa menekan sektor rumah tangga dari dua sisi. 

Pertama, kenaikan tarif pajak dan transportasi umum berpotensi inflasioner, terutama dari sisi biaya transportasi mengingat kebutuhan transportasi masyarakat golongan pendapatan menengah yang inelastis.

"Kedua, rencana tambahan kewajiban iuran pensiun dan asuransi kendaraan bermotor dapat semakin menekan jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income) masyarakat. Namun, kedua rencana kebijakan ini juga penting mengingat tingkat tabungan (saving rate) masyarakat yang rendah," kata David.

Bila dilihat dari perspektif ekonomi, rencana penerapan kebijakan fiskal yang kurang ekspansif dan program menaikkan tingkat tabungan masyarakat (forced savings) tersebut menjadi kurang tepat dilakukan di tengah kerentanan kondisi permintaan rumah tangga saat ini.

Tanpa upaya mengimbangi tekanan konsumsi masyarakat, bukan tidak mungkin akan semakin banyak cerita 'turun kelas' kelompok pendapatan menengah di Indonesia ke depan.

Data BPS menunjukkan, sepanjang lima tahun terakhir, terjadi penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia hingga 9,5 juta orang. Kelas menengah yaitu mereka yang memiliki pengeluaran antara Rp2.040.262 sampai Rp9.09.844 per kapita per bulan. 

Pada 2019, jumlah kelas menengah masih sebanyak 57,33 juta orang. Namun, pada 2024 berdasarkan data Susenas terakhir, jumlahnya turun jadi 47,85 juta orang. Pandemi Covid-19 terindikasi memperburuk penurunan di mana pada rentang 2021-2024 saja terindikasi kelas menengah yang 'terdegradasi' mencapai 5,98 juta orang.

Kini, proporsi kelas menengah di Indonesia tinggal 17,13% dari total populasi RI, sedangkan kelompok 'calon kelas menengah' makin banyak, mencapai 137,5 juta orang atau 49,22% dari total populasi.

"Bahwa memang kami identifikasi masih ada scarring effect dari pandemi terhadap ketahanan kelas menengah," kata Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti. 

Sederet Kebijakan 2025 Bisa Bikin Kelas Menengah Terdegradasi (Bloomberg Technoz/Arie Pratama)

Ekonom melihat, supaya fenomena 'turun kelas' kelompok pendapatan menengah itu tidak makin berlanjut, strategi jangka pendek (quick fix) yang bisa ditempuh oleh pemerintah salah satunya adalah dengan stabilisasi harga domestik.

Pasalnya, saat ini pertumbuhan harga pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat menengah-keatas, yakni harga pangan di luar pasar tradisional masih tumbuh lebih cepat dibandingkan harga pangan pada masyarakat menengah-kebawah, harga pangan di pasar tradisional.

Selain itu, "Aturan yang dapat meningkatkan biaya transportasi masyarakat juga mungkin perlu dikaji ulang, mengingat dampaknya pada disposable income masyarakat golongan menengah. Perlu juga pemberian insentif pajak yang lebih tertarget seperti relaksasi pajak bumi dan bangunan [PBB] untuk properti residensial di bawah harga tertentu, juga dapat membantu menjaga daya beli masyarakat golongan menengah," jelas David.

Ekonom INDEF Eko Listiyanto menilai, rencana kenaikan harga barang/jasa yang harganya bisa diatur (administered price) sebaiknya ditunda oleh pemerintah agar tekanan tidak makin berlanjut membebani kelas menengah. Selain itu, pemerintah disarankan menaikkan Tingkat Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari saat ini sebesar Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. "Batas PTKP perlu dinaikkan untuk menstimulasi kegiatan ekonomi," kata Eko.

Ketiga, lindungi industri padat karya untuk mendorong perluasan lapangan kerja. "Industri padat karya juga harus dilindungi agar fenomena penurunan kelas menengah bisa teratasi," imbuh ekonom. Yang terakhir, tingkat bunga acuan perlu dipangkas agar sektor riil bisa bergerak lebih baik dan membawa efek berganda ke perekonomian.

Makin merosot jumlah orang yang masuk dalam kategori pendapatan menengah, akan semakin menjauhkan ambisi Indonesia 2045 menjadi negara maju. Indonesia bisa menjadi negara maju bila jumlah kelas menengah mencapai 80% populasi, seperti pernah dilansir oleh Bappenas beberapa waktu lalu. 

Dengan kini populasi kelas menengah malah merosot dan arah kebijakan yang digadang justru berpotensi makin 'memiskinkan' kelas menengah, ambisi jadi negara maju pada 2045 terancam jatuh menjadi jargon kosong.

(rui/aji)

No more pages