Berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja Provinsi Jawa Tengah dikutip oleh media lokal, PHK yang makin marak di provinsi tersebut terutama karena imbas penutupan beberapa pabrik tekstil besar. Industri tekstil yang merana terlebih sejak pandemi pecah empat tahun lalu, banyak yang gulung tikar di tengah kelesuan permintaan ekspor dan domestik, ditambah serbuan barang impor yang seakan tak terkendali.
Yang ironis, badai PHK yang menggila di Jawa Tengah itu berlangsung ketika laju pertumbuhan investasi di provinsi dengan populasi 37,89 juta jiwa itu, tumbuh melampaui angka nasional.
Mengutip Badan Pusat Statistik, pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) Jawa Tengah pada kuartal II-2024 mencapai 7,32% year-on-year, melampaui angka nasional 4,43% yoy.
Sementara capaian realisasi investasi di Jawa Tengah pada kuartal I-2024 mencapai Rp15,16 triliun, naik 19% yoy dan disebut telah membantu penyerapan tenaga kerja sebanyak 78.204 orang, berdasarkan data yang dilansir oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Lonjakan angka PHK yang tinggi ketika arus masuk investasi masih tumbuh double digit seperti yang terjadi Jawa Tengah, agaknya telah menjadi fenomena umum di Tanah Air. Investasi bertumbuh akan tetapi arus duit yang masuk masih lebih banyak menyasar sektor nonpadat karya.
Sementara sektor-sektor penyerap tenaga kerja banyak, menghadapi tantangan makin besar. Industri pengolahan yang menjadi sektor ketiga penyerap tenaga kerja terbanyak, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT), makin tak berdaya di tengah serbuan barang impor yang membanjir. Deindustrialisasi prematur ditengarai menjadi salah satu pemicu penurunan jumlah kelas menengah di Indonesia dalam 10 tahun terakhir.
Mengacu pada data yang dilansir oleh Kementerian Investasi termutakhir, selama semester 1-2024, realisasi investasi di Indonesia tercatat tumbuh 22,3% yoy mencapai Rp829,9 triliun.
Pemerintah menyebut, realisasi investasi selama semester 1-2024 telah menciptakan lapangan kerja baru sebanyak 1,23 juta orang. Pertumbuhan lapangan kerja itu naik dibanding 44,3% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Hanya saja, sektor yang terbanyak mencatat realisasi investasi, sejauh ini memang termasuk sektor bukan padat karya. Realisasi investasi terbesar adalah di sektor industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatan. Kedua, sektor transportasi, gudang dan telekomunikasi. Ketiga, sektor pertambangan. Keempat, sektor perumahan, kawasan industri dan perkantoran. Kelima, sektor jasa lainnya.
Sementara bila menilik hasil Survei Angkatan Kerja Nasional termutakhir edisi Februari, sektor penyerap tenaga kerja terbanyak di Indonesia adalah lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan (28,64%), lalu sektor perdagangan besar dan eceran, reparasi dan perawatan mobil serta sepeda motor (19,05%), serta industri pengolahan (13,28%).
Lapangan Kerja Sempit
Penciptaan lapangan kerja baru memang menjadi PR besar pemerintahan yang terlihat kepayahan menggenjot penambahan pekerjaan dalam satu dasawarsa terakhir.
Mengacu pada data Sakernas edisi Februari yang diolah oleh Divisi Riset Bloomberg Technoz, penambahan lapangan kerja di sektor formal selama 10 tahun terakhir terlihat melambat signifikan.
Sepanjang 2009-2014, periode terakhir era Presiden SBY, lapangan kerja yang tercipta di sektor formal berhasil menyerap sekitar 15,62 juta pekerja.
Angkanya kemudian menurun pada periode pertama era Jokowi, 2014-2019, di mana penciptaan lapangan kerja hanya menyerap 8,55 juta pekerja menjadi sebanyak 56,03 juta pekerja sektor formal.
Yang terburuk, pada 2019-2024, penyerapannya semakin ambles yaitu hanya bertambah 2,01 juta lapangan kerja baru. Total lapangan kerja sektor formal per Febuari adalah sebesar 58,04 juta pekerja.
Bisa disimpulkan dalam 10 tahun era Jokowi, tercipta lapangan kerja sektor formal sebanyak 10,56 juta, menurun dibanding penciptaan lapangan kerja di 10 tahun pemerintahan SBY yang mencapai 19,07 juta pekerja.
Sektor formal mengacu definisi BPS mencakup para pegawai atau karyawan. Juga pekerja mandiri yang memiliki buruh dengan upah tetap, atau biasa disebut sebagai pengusaha. Di luar dua kelompok itu, maka seorang pekerja masuk dalam kategori bekerja di sektor informal.
Sementara definisi bekerja yang diacu oleh BPS adalah kegiatan melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan, paling sedikit selama satu jam dalam seminggu yang lalu. BPS merilis hasil Sakernas dua kali dalam setahun yaitu tiap Februari dan Agustus.
Pandemi picu sektor informal
Pandemi memang memperburuk penyediaan lapangan kerja sektor formal. Namun, bila melihat data tersedia, sejatinya tren penurunan ketersediaan lapangan kerja sektor formal sudah berlangsung sejak sebelum pandemi merebak.
Ketersediaan lapangan kerja di sektor formal yang minim, akhirnya memicu semakin banyak orang Indonesia yang berkiprah di sektor informal. Berdasarkan data BPS terakhir, persentase sektor informal kini mencapai 59,17%, naik dibanding 2019 silam yang sebesar 57,22%.
Banyak korban PHK dan angkatan kerja baru yang kesulitan masuk pasar kerja akibat lowongan pekerjaan tersedia terus minim.
Akhirnya banyak orang mencari penghidupan dengan menjadi ojek online, kurir logistik, menggeluti usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), dan lain sebagainya. Sektor informal ala gig economy yang kian menjamur seperti ojek online, bahkan ditengarai telah memicu eksploitasi dalam model kemitraan semu.
Banyaknya jumlah UMKM, terutama yang mikro dan ultra mikro di sebuah negara juga bisa dibaca sebagai salah satu pertanda bahwa kondisi lapangan kerja di negara tersebut kurang berkualitas dan tidak memadai menyerap kebutuhan masyarakat atas pekerjaan yang lebih layak.
Data Kementerian Koperasi dan UMKM pada 2021 mencatat, dari sebanyak 64,2 juta pelaku UMKM, sebanyak 63,95 juta termasuk kategori usaha Mikro setara 99,62%. Sementara usaha Kecil sebanyak 193.959 unit (0,3%), lalu usaha Menengah 44.728 unit (0,07%) dan usaha Besar sebanyak 5.550 unit (0,01%).
Setengah Pengangguran Membludak
Lapangan kerja formal yang sempit bukan hanya memaksa orang mencari penghasilan di sektor informal. Bila menilik data struktur ketenagakerjaan terbaru, jumlah orang Indonesia yang sudah bekerja tapi masih mencari pekerjaan lain yang lebih layak, juga masih sangat banyak.
Hal itu terindikasi dari angka Setengah Pengangguran yang masih sebesar 12,11 juta orang sampai Februari 2024. Setengah pengangguran merujuk pada mereka yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu dan masih mencari pekerjaan tambahan atau pekerjaan lebih layak.
Bila digabungkan dengan angka pengangguran terbuka, total orang Indonesia yang menganggur dan masih mencari pekerjaan lebih layak mencapai 19,31 juta orang, terdiri atas 7,20 juta orang pengangguran terbuka dan 12,11 juta setengah pengangguran.
Angka itu meningkat dibanding Februari 2023 yang sebanyak 17,58 juta orang, terdiri atas 7,99 juta penganggur dan 9,59 juta setengah pengangguran.
Peningkatan jumlah orang yang tidak memiliki pekerjaan dan masih mencari pekerjaan lebih layak akan lebih fantastis bila dibandingkan tahun 2019 lalu. Pada Februari 2019, total pengangguran terbuka 'hanya' sebanyak 6,82 juta orang dan setengah pengangguran 9,53 juta orang.
Situasi ketenagakerjaan yang tidak menggembirakan itu perlu intervensi melalui kebijakan yang tepat. Tanpa itu, akan sulit mendorong perekonomian Indonesia naik kelas di kala pendapatan masyarakat terus merosot akibat keterpurukan manufaktur, seretnya lapangan kerja layak dan biaya hidup yang terus meningkat.
(rui/aji)