Pada 7 bulan pertama 2024, nilai impor non-migas dari Negeri Tirai Bambu tercatat US$ 38,97 miliar. Ini setara dengan 35,49% dari total non-migas Indonesia, sehingga perannya lebih dari sepertiga.
“Ketidakpastian meningkat di China, seiring pelemahan momentum perekonomian dunia. Proyeksi perlambatan ekonomi di China belum kunjung membaik,” tegas Bruce Pang, Kepala Ekonom untuk China di Jones Lang LaSalle Inc, sebagaimana diwartakan Bloomberg News.
Kinerja Ekspor Impor-China
Dengan melihat pentingnya peran di atas, maka data ekspor-impor China juga akan mempengaruhi perekonomian Tanah Air. Saat ekspor China melemah, maka impor Indonesia akan terpengaruh dengan pelemahan di sektor industri. Ketika impor China turun, maka efeknya akan terasa di kinerja ekspor nasional, yang menjadi penyumbang terbesar ketiga dalam pembentukan PDB Indonesia.
Hari ini, otoritas kepabeanan China meriis data ekspor-impor. Pada Agustus, ekspor China tumbuh 8,7% year-on-year (yoy). Lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Juli yang sebesar 7% yoy dan menjadi yang tertinggi sejak Maret tahun lalu.
Namun, tidak demikian dengan impor. Pada Agustus, impor China hanya tumbuh 0,5% yoy. Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang naik 7,2% yoy.
Fenomena semacam ini memang sedang menjadi sorotan. China mengalami surplus atau kelebihan produksi, yang membuat impor turun. Namun pada saat yang sama, permintaan dalam negeri masih lesu sehingga tidak ada pilihan kecuali menggenjot ekspor.
"Surplus produksi dalam negeri China menjadi perhatian kita, karena ketika China memaksimalkan pasar luar negerinya dan Indonesia menjadi salah satu tujuan utama. Ini juga yang menyebabkan kenapa pertumbuhan kita melambat, juga terjadinya impor luar biasa karena memang di China sedang surplus untuk produksi misalnya TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) ini," papar Reni Yanita, Plt Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, belum lama ini.
Manufaktur
Selain data ekspor-impor, data kinerja manufaktur China juga akan menentukan bagi Indonesia. Biasanya aktivitas manufaktur dicerminkan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI). Kalau angkanya masih di bawah 50, maka sedang terjadi kontraksi atau pertumbuhan negatif.
Biro Statistik Nasional China (NBS) melaporkan, PMI manufaktur pada Agustus bernilai 49,1. Turun dibandingkan Juli yang sebesar 49,4.
Sejak April 2023, PMI manufaktur China cuma 3 kali berada di zona ekspansi.
Saat industri manufaktur China lesu, maka permintaan terhadap bahan baku/penolong dan barang modal dari Indonesia juga ikut turun. Hasilnya, ekspor Indonesia pun akan terpukul.
“Ke depan, ekonomi China membutuhkan dukungan kebijakan untuk mengangkat dari periode pelemahan ini. Dua bulan PMI yang lesu pada kuartal ini membuat outlook memburuk,” tegas Chang Shu, Kepala Ekonom untuk Asia di Bloomberg Economics, dalam laporannya.
(aji)