Bhima menjelaskan pentingnya pengaturan bursa karbon dalam RPOJK (Rancangan Peraturan OJK) memberikan level of playing field atau ruang kompetisi yang adil kepada setiap penyelenggara yang ingin terlibat. Secara ekosistem dan best practices, aturan main di bursa karbon sudah selayaknya dibuat berbeda dengan bursa efek.
“Oleh karena itu menjadi aneh kalau ada wacana peraturan khusus dimana bursa efek bisa otomatis jadi penyenggara bursa karbon. Padahal dalam Pasal 24 UU PPSK disebutkan bahwa bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara yang mendapat izin usaha OJK, bukan otomatis berasal dari penyelenggara bursa efek. Kita perlu memastikan aturan teknis khususnya dalam perizinan usaha bursa karbon tidak ekslusif hanya untuk bursa efek tapi terbuka bagi penyelenggara lainnya,” katanya.
Salah satu perbedaan yang paling jelas didalam bursa karbon terdapat penjual/pembeli dan pedagang karbon, sementara bursa efek lebih berperan memfasilitasi investor dengan emiten.
Fungsi bursa karbon sebagai price discovery (penemuan harga acuan karbon), sementara bursa efek memiliki fungsi pencarian dana bagi emiten. Usulan bursa efek menjadi penyelenggara bursa karbon menimbulkan beragam pertanyaan besar terhadap desain bursa karbon dan efektivitas perdagangan karbon di Indonesia.
Menurutnya, OJK pun perlu hati-hati dalam merumuskan aturan penyelenggara bursa karbon. Dengan melihat bahwa pemain bursa karbon kedepan bisa muncul perusahaan teknologi sebagai penyelenggara yang bukan bagian dari bursa efek.
“Inovasi yang muncul di ekosistem bursa karbon perlu difasilitasi oleh OJK. Khawatir jika dibatasi hanya bursa efek yang otomatis menjadi penyelenggara bursa karbon akan menghambat laju inovasi dan kedalaman pasar karbon. Karena kebingungan dari mekanisme bursa karbon menjadi disinsentif bagi pelaku pasar yang ingin terlibat,” tutup Bhima.
(krz/dba)