Mengulas ketegangan pada September 2020, sentimen negatif datang dari segala penjuru. Saat itu, perekonomian secara global sedang terbenam di ambang kejatuhan akibat tekanan dari pandemi Covid-19 yang mengganas.
Pengumuman dan laporan-laporan terkait jumlah korban Covid-19 terus meningkat menambah kekhawatiran dengan penuh ketidakpastian. Imbasnya, angka pertumbuhan ekonomi pada masa tersebut kompak ada di zona kontraksi.
Sejumlah negara di dunia juga terjadi aksi jual yang masif. Terutama dampak langsung dari lambatnya pemulihan ekonomi Amerika Serikat sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Di sisi lain, Pemerintah setempat juga belum mampu melimpahkan paket stimulus baru untuk membantu pemulihan juga permintaan akibat pandemi Covid-19.
Adapun tekanan amat berat bagi IHSG selanjutnya datang dari Bank Indonesia di mana penjualan ritel dalam negeri drop hingga double digit pada Juli 2020 kala itu setelah pada bulan sebelumnya juga ambles. Ini merupakan penurunan kedelapan kalinya dan merupakan laju terlemah sejak Maret 2020.
Menurut catatan, pada 9 September 2020 Pemerintah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk menekan penyebaran Covid-19 yang angka penderitanya terus meningkat. Kebijakan tersebut turut menjadi sentimen negatif atas sejumlah data ekonomi, yang berefek secara langsung pada 10 September 2020 IHSG drop hingga terjadi trading halt.
Sentimen Kurang Positif di Awal September
Untuk sentimen September 2024 kali ini, ada beberapa sentimen dan katalis yang dapat mempengaruhi dengan kecenderungan menekan dan membatasi gerak IHSG.
Rilis data inflasi Indonesia periode Agustus 2024 berada pada level deflasi 0,03% secara bulanan (month-to-month/mtm). Deflasi terjadi dalam empat bulan berturut-turut, di luar ekspektasi pasar yang memprediksi ‘Masih’ akan ada inflasi 0,02% mtm.
Sementara itu, inflasi secara tahunan (year-on-year/yoy) tercatat pada level 2,12%. Sedikit lebih rendah ketimbang Juli kemarin di 2,13% yoy.
BI menilai inflasi tetap terkendali dalam kisaran sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025. Adapun inflasi inti pada Agustus 2024 tercatat 0,20% mtm, sedikit lebih tinggi dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 0,18% mtm.
Selain inflasi, juga terdapat rilis data aktivitas manufaktur yang jadi acuan dengan Purchasing Managers' Index (PMI).
Tercatat, aktivitas manufaktur Indonesia kembali mengalami kontraksi untuk bulan kedua berturut-turut pada Agustus, dipicu makin turunnya produksi (Output) dan pesanan baru dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
S&P Global melaporkan, PMI Indonesia pada Agustus 2024 berada pada level 48,9. Melemah dibandingkan bulan sebelumnya yang ada di angka 49,3 sekaligus jadi yang terendah di sepanjang tahun 2024, juga kontraksi paling tajam sejak Agustus 2021.
Hasil survei PMI manufaktur Indonesia pada Agustus 2024 membawa kabar kurang positif bagi perekonomian, ditandai dengan penurunan paling tajam baik dalam pesanan baru maupun produksi selama tiga tahun. Permintaan pasar lebih lemah dibandingkan dengan Juli. Melambatnya pesanan luar negeri juga semakin cepat, mencapai yang tertajam sejak Januari 2023.
Padahal manufaktur menjadi penting untuk menjadi perhatian. Sebab, manufaktur adalah kontributor utama pembentukan Produk Domestik Bruto dari sisi lapangan usaha. Ketika sektor ini melambat, maka ekonomi secara keseluruhan akan ikut merosot.
Selanjutnya pada September 2024 ini akan terdapat agenda laporan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), angka penjualan eceran atau ritel, Neraca Perdagangan termasuk angka ekspor dan impor Indonesia. Termasuk juga akan ada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia perihal masa-masa pemangkasan suku bunga acuan.
Jika dibandingkan dengan indeks regional, atau rekan-rekannya di Asia, Straits Times Index Singapore mencatatkan rata-rata penurunan 0,91%. Senada, Korea Stock Exchange KOSPI Index juga anjlok 1,41%, dan Bursa Malaysia KLCI Index juga mencatatkan pelemahan 2,13%.
Jika mencermati lebih lanjut, pelemahan paling dalam dihadapi oleh Bursa Malaysia KLCI Index dengan ambles 2,13% secara rata-rata perdagangan saham di September dalam 10 tahun.
Adapun sentimen yang mempengaruhi laju indeks utama Malaysia adalah, pembatasan laju ekonomi dengan melarang warga sejumlah negara masuk wilayahnya untuk mencegah penyebaran Covid-19 yang kala itu semakin cepat penyebarannya.
Selanjutnya adalah pertumbuhan perekonomian Malaysia yang mencetak angka kontraksi, sehingga terancam masuk ke jurang resesi. Produk Domestik Bruto Malaysia drop hingga minus sedalam-dalamnya 16,5% pada Kuartal II-2020.
Berdasarkan data Bank Sentral Negara Malaysia, secara tahunan ekonomi Malaysia juga mengalami kontraksi hingga minus 17,1% pada Kuartal yang sama. Sehingga kontraksinya ekonomi disebut yang pertama sejak krisis keuangan global.
Penurunan ekonomi di Kuartal II-2020 itu sekaligus jadi yang terdalam sejak krisis keuangan Asia tahun 1998.
(fad)