Logo Bloomberg Technoz

Meski ditengarai sudah ada indikasi perlambatan pertumbuhan sejak 2018, jauh sebelum pandemi meledak, terutama karena pelemahan industri pengolahan yang berdampak pada kemerosotan kelas menengah di Tanah Air.

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 20 tahun terakhir (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Selama periode 2019 hingga data tahunan terakhir pada 2023, PDB Indonesia bertumbuh 12,3%. Sementara data tahunan untuk 2024 belum tersedia. Data terakhir yang dirilis pada kuartal satu dan dua, membukukan PDB atas dasar harga konstan masing-masing sebesar Rp3.112,9 triliun dan Rp3.231 triliun, atau naik 5,09% year-on-year (yoy) dan 5,07% yoy.

Menghitung laju tahunan, selama 2014-2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia (PDB riil) di bawah Jokowi tercatat rata-rata sebesar 4,23% per tahun. Sedangkan bila menghitung median, pertumbuhan ekonomi selama periode tersebut adalah 5,02%.

Bila dibandingkan 10 tahun pemerintahan Presiden SBY, capaian Jokowi masih tertinggal. Menghitung selama 2004-2013, rata-rata pertumbuhan ekonomi di era SBY mencapai 5,8% per tahun dengan angka median sebesar 5,56%.

Kelas menengah 'turun kelas'

Capaian pertumbuhan ekonomi RI selama satu dasawarsa Jokowi, bisa disebut mengecewakan karena lebih buruk ketimbang pendahulunya.

Tingkat kesejahteraan mayoritas masyarakat menurun, di mana banyak kelas menengah akhirnya terdegradasi alias turun kelas kemampuan konsumsinya, yang bahkan telah terjadi sebelum pandemi Covid-19 meruyak perekonomian.

Dalam kajian yang diampu oleh akademisi UI Teguh Dartanto dan Canyon Keanu Can, tahun lalu, tercatat bahwa pada era Presiden Joko Widodo periode pertama, kelas menengah menikmati pertumbuhan ekonomi lebih besar dibandingkan dengan kelompok termiskin dan terkaya. Alhasil, indikator ketimpangan atau Gini Ratio bisa diturunkan menjadi 0,380 pada 2019.

Namun, pada periode kedua, pertumbuhan ekonomi tidak lagi inklusif di mana manfaat dari kebijakan atau program pemerintah terfokus hanya pada 20% kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas. Pada saat yang sama, kelompok kelas menengah yang proporsinya mencapai 40%-80% dilupakan. Bahkan, kelompok 60%-80% mengalami pertumbuhan ekonomi negatif.

Para akademisi dan ekonom menilai, tanpa inovasi out of the box mimpi Indonesia Emas 2045 akan semakin mustahil. "Pemerintah harus fokus pada pengembangan kelas menengah yang kuat dan inovatif karena mereka adalah motor utama pembangunan jangka panjang," demikian hasil kajian menyebutkan.

Pembangunan di Indonesia lebih fokus pada kelas atas dan kelas bawah. Kelas menengah terlupakan (Dok. LPEM UI/Divisi Riset Bloomberg Technoz)

"Walaupun terakselerasi, perekonomian Indonesia menunjukkan adanya indikasi permasalah struktural dengan pertumbuhan sebagian besar didorong oleh faktor musiman," demikian ditulis oleh Kelompok Kajian Makroekonomi, Keuangan dan Ekonomi Politik LPEM UI, dalam analisis yang dilansir bulan lalu.

Sekitar 45% aktivitas ekonomi RI ditopang oleh hanya tiga sektor yaitu Pertanian, Pengolahan dan Perdagangan. Tiga sektor itu mencatat tren pertumbuhan di bawah rata-rata nasional.

Deindustrialisasi prematur memicu stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

"Stagnasi yang persisten terjadi di sektor pengolahan, menguatkan indikasi terjadinya deindustrialisasi prematur. Sementara sektor perdagangan besar dan eceran umbuh di bawah 5% menyiratkan adanya potensi pelemahan daya beli terutama kelas menengah," jelas tim peneliti LPEM UI di antaranya Jahen F. Rezki, Teuku Riefky dan kawan-kawan.

Pelemahan daya beli kelas menengah diduga sebagai akibat dari pertumbuhan produktivitas yang melemah dari aktivitas produksi di Indonesia. Kemerosotan daya beli kelas menengah akhirnya memicu dampak spiral menilik posisi kelas konsumen ini yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi. 

Kelas menengah didefinisikan sebagai individu yang menikmati keamanan ekonomi, bebas dari kekhawatiran akan kemiskinan dan mengalokasikan pendapatan untuk konsumsi yang bersifat diskresioner, tak sekadar kebutuhan primer.

Secara spesifik, mengacu pada hasil Susenas pada Maret 2024, kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran antara Rp2.040.262 sampai Rp9.909.844 per kapita per bulan.

Sedangkan nilai tengah atau median pengeluaran kelas menengah di Indonesia saat ini tercatat sebesar Rp2.846.440 per kapita per bulan. 

Di Indonesia, jumlah individu yang termasuk kategori ini terus merosot menjadi cerminan penurunan kesejahteraan secara umum masyarakat Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir.

Kelas menengah di Indonesia semakin banyak yang turun kelas (Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Kajian LPEM UI mencatat, pada 2023 jumlah kelas menengah diperkirakan mencapai 53 juta, turun dibanding 2018 lalu sebanyak 60 juta jiwa.

Penduduk RI kini didominasi oleh kelompok 'calon kelas menengah' alias aspiring middle class, yakni mereka yang memiliki pengeluaran sebesar Rp874.398 hingga Rp2.040.262 per kapita per bulan.

Populasi kelompok ini diprediksi mencapai 144 juta jiwa atau 53,4% dari total populasi RI pada 2023, menurut analisis LPEM UI.

Analisis para akademisi itu tidak terlalu jauh dari hitungan resmi Badan Pusat Statistik yang dilansir pekan lalu.

BPS menyebut, jumlah penduduk yang termasuk kategori kelas menengah di Indonesia makin turun yaitu dari sebanyak 57,33 juta orang pada 2019, menjadi tinggal 47,85 juta orang pada 2024. Sedikitnya 9,5 juta orang terdegradasi dari kelas menengah, turun jadi kelas 'menuju kelas menengah'. 

Pandemi Covid-19 terindikasi memperburuk penurunan kesejahteraan itu dengan indikasi 5,98 juta orang Indonesia turun kelas selama periode 2021-2024.

Kini, proporsi kelas menengah di Indonesia tinggal 17,13% dari total populasi RI, sedangkan kelompok 'calon kelas menengah' makin banyak, mencapai 137,5 juta orang atau 49,22% dari total populasi. "Bahwa memang kami identifikasi masih ada scarring effect dari pandemi terhadap ketahanan kelas menengah," kata Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti. 

Kelas menengah di Indonesia, catatan BPS, menyumbang konsumsi sebanyak 38,28% dari total pengeluaran. Sedangkan calon kelas menengah menyumbang 43,21% konsumsi nasional.

Sektor manufaktur yang semakin merosot berdampak pada penurunan daya beli kelas menengah (Bloomberg Technoz/Andrean Kristianto)

“Kelas menengah Indonesia memiliki peran besar dalam mendukung perekonomian nasional. Karena itu, desain kebijakan yang berfokus pada kelas menengah khususnya penguatan daya beli, diperlukan untuk memperkokoh fondasi perekonomian Indonesia,” kata Amalia.

Kajian LPEM UI sebelumnya menyebut, terjadi kemerosotan sumbangan konsumsi kelas menengah yaitu dari sebesar 41,9% pada 2018 menjadi 36,8% pada 2023.

Apa penyebab penurunan daya beli kelas menengah ini? Kelesuan sektor manufaktur di Indonesia yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa terakhir adalah salah satu sebab utama.

"Performa sektor manufaktur yang terus menurun kita lihat sebagai pangkal masalah mengapa daya beli masyarakat ikut menurun. Kemampuan industri manufaktur menyerap tenaga kerja turun, produktivitas turun sehingga tingkat upah ikut turun. Hal itu yang membuat kelas menengah yang bekerja di sektor tersebut jadi tidak produktif bahkan sebagian sudah berpindah ke sektor informal," kata Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky.

Perlu perubahan

Dengan 'warisan' kemerosotan kesejahteraan sebagian besar masyarakat dalam satu dasawarsa terakhir, pemerintahan mendatang memiliki PR besar untuk memperbaiki bila tidak ingin semakin terbenam dalam 'jebakan kelas menengah'.

Walau sejauh ini, harapan itu sunyi menyusul berbagai rencana kebijakan yang berpotensi membuat kelas menengah semakin tertekan. Mulai dari rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 12% mulai tahun depan, pengurangan subsidi energi, rencana pewajiban iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), iuran wajib pensiun, sampai wacana pembatasan subsidi transportasi publik (KRL). 

Peta populasi Indonesia berdasarkan kelas pendapatan (Dok. LPEM UI/Divisi Riset Bloomberg Technoz)

Kebijakan-kebijakan itu tidak memperlihatkan keberpihakan pada kelas menengah yang dalam satu dekade ini sudah banyak terlempar kelasnya jadi lebih miskin. Pemerintah perlu mendengarkan para ekonom.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, menilai, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan agar laju deindustrialisasi bisa dihentikan, memfasilitasi pertumbuhan usaha menengah kecil, dan mikro (UMKM) dan sektor retail. "Selain itu, memberi dukungan KPR (kredit pemilikan rumah), memastikan biaya sekolah terjangkau, dan menertibkan pinjaman online legal serta ilegal," kata Wijayanto.

Kebijakan ekonomi Indonesia di masa mendatang perlu memberi fokus lebih besar pada kelas menengah agar dapat meminimalisasi risiko gejolak sosial yang bisa berdampak buruk bagi perekonomian seperti yang terjadi di Chile pada 2019, 'Chilean Paradox' ketika gejolak sosial nyaris memicu revolusi sosial dipicu oleh kenaikan tarif transportasi publik, isu khas kelas menengah. 

Komisaris Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk dan Menteri Keuangan (2013/204), M. Chatib Basri di Mandiri Investment Forum 2023. (Youtube 12thMIF2023)

Chatib Basri, Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan, dalam kolomnya beberapa waktu lalu menyoroti, Indonesia perlu berkaca pada kasus Chile.

Dari negeri Amerika Latin itu, ada beberapa hal yang bisa dipelajari. Pertama, kebijakan perlindungan sosial tidak bisa hanya difokuskan pada kelompok miskin. Pengalaman saat pandemi menunjukkan kelas menengah bawah juga terpukul tapi mereka tidak mendapatkan bantuan sosial.

Kedua, pembangunan ekonomi ke depan harus semakin inklusif. "Dengan anggaran terbatas, mana yang lebih penting: infrastruktur atau perlindungan sosial? Indonesia butuh keduanya. Isunya bukan memilih di antar dua tapi bagaimana meningkatkan penerimaan pajak sehingga ekspansi sosial dan infrastruktur bisa dibiayai," jelasnya.

Ketiga, kelas menengah muncul membawa implikasi ekonomi politik di mana mereka hadir sebagai pengeluh profesional. "Kelas konsumen baru yang cerewet, kritis, dengan pendapatan yang lebih baik, akan menuntut kualitas pelayanan jasa publik, kualitas barang, dan tata kelola pemerintahan yang lebih baik," kata Chatib.

Keempat, koefisien gini yang mengukur ketimpangan mungkin sudah lebih baik. Namun, kasus Chile menunjukkan Indonesia tidak bisa hanya fokus pada ketimpangan pendapatan tapi juga horizontal (social) inequality.

"Kita belajar dari pengalaman Chile: sikap pemerintah yang memihak pada oligarki, rasa keadilan yang terusik, dan politik transaksional di kalangan elite, akhirnya mendorong gejolak sosial," jelas Chatib.

-- dengan bantuan laporan Azura Yumna dan Lavinda.

(rui/hps)

No more pages