Menurut Djoko, kebutuhan anggaran untuk pengelolaan CPE tersebut diperkirakan mencapai Rp70 triliun sampai dengan 2035. Anggaran tersebut bakal digunakan untuk komoditas atau jenis CPE, infrastruktur hingga pengelolaan.
“Sampai dengan 2035 kurang lebih Rp70an triliun, [digunakan] untuk [pengadaan] komoditasnya, sewa tangki, bangun tangki, dan pengelolaannya,” ujar Djoko.
Apa Itu Krisis Energi?
Merujuk pada Pasal 3 Perpres No. 41/2016, krisis energi dan/atau darurat energi ditetapkan berdasarkan kondisi teknis operasional dan kondisi nasional.
Berdasarkan Pasal 4 Ayat 2 beleid tersebut, krisis energi berdasarkan kondisi teknis operasional ditetapkan apabila pemenuhan cadangan operasional minimum atau kebutuhan minimum diperkirakan tidak terpenuhi dan tidak tertanggulangi oleh badan usaha.
Di lain sisi, Permen ESDM No. 12/2022 mengatur bahwa krisis energi berdasarkan kondisi teknis operasional ditetapkan dengan mempertimbangkan beberapa hal, seperti:
Pertama, cadangan operasional minimum BBM pada wilayah distribusi niaga BBM, yang merupakan cadangan operasional selama 7 hari ketahanan stok (coverage days) pada terminal BBM dan stasiun pengisian bahan bakar pada suatu wilayah distribusi niaga BBM.
“Krisis BBM berdasarkan kondisi teknis operasional ditetapkan apabila pemenuhan cadangan operasional minimum BBM diperkirakan tidak terpenuhi dan tidak tertanggulangi oleh badan usaha selama lebih dari 30 hari ke depan,” tulis Permen ESDM No. 12/2022.
Kedua, cadangan operasional minimum LPG pada Wilayah distribusi LPG, yang merupakan cadangan operasional selama 3 hari ketahanan stok (coverage days) pada terminal LPG dan stasiun pengisian bulk LPG (SPBE) atau stasiun pengisian dan pengangkutan bulk LPG (SPPBE), untuk suatu wilayah distribusi LPG.
“Krisis LPG berdasarkan kondisi teknis operasional ditetapkan apabila pemenuhan cadangan operasional minimum LPG diperkirakan tidak terpenuhi dan tidak tertanggulangi oleh badan usaha selama lebih dari 30 hari ke depan.”
Apa Bedanya dengan Darurat Energi?
Pasal 5 Ayat 2 Perpres No. 41/2016 mengatur bahwa darurat energi berdasarkan kondisi teknis operasional ditetapkan apabila gangguan pada sarana dan prasarana energi tidak dapat dipulihkan oleh badan usaha.
Pasal 16 Ayat 2 Permen ESDM No. 12/2022 menjelaskan darurat energi berdassrksn kondisi teknis operasional ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat kesulitan dan lamanya waktu penanganan dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure); gangguan keamanan; dan/atau kecelakaan teknis pada sarana energi dan prasarana energi.
Selanjutnya, krisis energi dan/atau darurat energi berdasarkan kondisi nasional ditetapkan jika mengakibatkan terganggunya fungsi pemerintahan, terganggunya kehidupan sosial masyarakat dan/atau terganggunya kegiatan perekonomian.
Untuk diketahui, rencana buffer stock sektor energi tersebut tertuang di dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 96/2024 tentang Cadangan Penyangga Energi, yang baru saja ditetapkan dan diundangkan Presiden Joko Widodo pada 2 September 2024.
Perinciannya, jenis CPE di antaranya adalah BBM jenis bensin yang digunakan sebagai bahan bakar transportasi; LPG sebagai bahan bakar keperluan industri, transportasi, komersial besar, menengah, dan kecil, petani, nelayan, dan rumah tangga; serta minyak bumi yang digunakan sebagai bahan baku keperluan operasi kilang minyak.
“CPE merupakan barang milik negara berupa persediaan,” sebagaimana dikutip melalui Pasal 2 Ayat 2 beleid tersebut, Selasa (3/9/2024).
(dov/wdh)