Pergerakan harga aset-aset di pasar keuangan domestik yang cenderung tertekan, sulit dilepaskan dari sentimen regional Asia yang juga terpengaruh mood pasar global.
Mata uang Asia tertekan sejak pagi tadi dipimpin oleh peso Filipina yang terseret lemah 0,53%. Sementara bursa saham Asia mayoritas terjebak di zona merah seperti Kospi Korea yang turun 0,35%, Hang Seng Hong Kong juga turun 0,5%. Begitu juga indeks saham Shanghai yang melemah.
Pasar masih dibebani oleh kekhawatiran terhadap situasi ekonomi China yang menunjukkan sinyal makin lemah pasca data aktivitas produksi kembali terkontraksi dalam empat bulan beruntun pada Agustus.
Di sisi lain, investor juga mewaspadai kemungkinan Bank of Japan kembali mengerek bunga acuan secepatnya pada Januari tahun depan.
Nanti malam, data manufaktur AS dinanti sebagai gambar lanjutan kondisi ekonomi terbesar di dunia itu, sebelum ditutup rilis data pasar tenaga kerja di hari terakhir pekan ini.
Spekulasi pasar bergerak memperkirakan bunga acuan The Fed bisa dipangkas 50 bps pada 18 September nanti pada FOMC bank sentral.
Dari dalam negeri, pelaku pasar masih mencermati kontraksi manufaktur yang terus berlanjut pada Agustus. Deflasi selama empat bulan beruntun, rekor terpanjang sejak 1999 lalu, juga memicu kekhawatiran adanya tekanan daya beli yang serius di tengah masyarakat.
Asing masih incar obligasi RI
Meski hari ini terlihat lesu, sejatinya pamor aset pasar keuangan domestik masih berkilau di mata para investor global.
Para pengelola dana kelas kakap dunia membidik aset-aset investasi di Indonesia di bulan ketika volatilitas pasar diperkirakan akan meningkat jelang pertemuan The Fed yang diprediksi akan memulai pivot penurunan bunga acuan.
Salah satu fund manager besar dunia asal AS, BlackRock, yang mengelola dana puluhan triliun dolar AS, sudah bersiap memanfaatkan volatilitas pasar yang terjadi pada September untuk memborong aset di pasar negara berkembang, terutama surat utang alias obligasi.
Surat utang terbitan Filipina dan Indonesia, menjadi favorit perusahaan pengelola aset ini terutama untuk tenor menengah dan panjang, seiring dengan ruang yang makin luas bagi bank sentral di dua negara itu untuk melonggarkan kebijakan moneternya.
"Ini adalah masa keemasan, golden age, bagi aset-aset fixed income di Asia khususnya di emerging market-nya. Saya pikir akan menjadi hal yang tepat untuk menambah sedikit lagi durasi jika terjadi volatilitas," kata Neeraj Seth, Head of Asian Fixed Income BlackRock di Singapura, seperti dilansir oleh Bloomberg News.
Ia menilai, pasar Asia relatif lebih terlindungi dari volatilitas terkait pelaksanaan Pemilu AS pada November nanti.
Pasar surat utang di Asia sejauh ini masih membukukan kinerja lebih baik setiap September.
Data Bloomberg mencatat, dalam 10 tahun terakhir, obligasi di Asia hanya mencatat kerugian 1% setiap September dibanding penurunan hingga 2,1% oleh obligasi di emerging market Amerika Latin.
Indonesia sejauh ini menjadi negara yang paling banyak menikmati limpahan dana asing yang menyerbu pasar negara berkembang terpicu sentimen pivot The Fed yang makin memuncak.
Investor asing telah memborong obligasi negara sedikitnya US$2,2 miliar selama Agustus, menjadi nilai belanja terbesar oleh investor nonresiden sejak Januari 2023 silam. Bahkan pada 22 Agustus saja, asing memborong surat utang RI hingga Rp9,6 triliun, pembelian sehari terbesar dalam lima tahun terakhir.
"Bila dolar AS tidak lagi dominan, maka akan semakin mudah dan murah bagi pasar negara berkembang dalam mencari pendanaan, termasuk Indonesia," kata Mark Nash, fund manager di Jupiter Asset Management di London, yang menyatakan telah memborong SUN-10Y, seperti dilansir oleh Bloomberg.
Mengacu data Kementerian Keuangan, asing terus menambah pembelian surat utang terbitan pemerintah hingga kini penguasaannya telah mencapai Rp852,3 triliun per 30 Agustus. Level itu menjadi yang tertinggi sejak Agustus 2023 dan menempatkan penguasaan asing di Surat Berharga Negara (SBN) menjadi 14,5% dari outstanding yang beredar di pasar sekunder.
(rui)