“Pada Januari—Februari, bahkan ada yang memasang angka sampai Rp6.200/kg, sedangkan plafon Bulog hanya Rp4.600/kg. Di Sulawesi, yang notabene sumbernya beras, harganya sampai Rp6.600/kg waktu itu,” tutur Ketut.
Kedua, kenaikan harga beras di tingkat konsumen juga dipicu oleh banyaknya produsen atau petani –khususnya skala kecil– yang enggan melepas hasil produksinya untuk komersial.
Berdasarkan temuan Bapanas, hampir 30% petani di sentra-sentra produksi padi memilih untuk menyimpan stoknya demi kebutuhan rumah tangga, alih-alih menyalurkannya kepada penggilingan.
“Jadi ada beberapa analisis soal ini. Di Bali, misalnya, 40% [dari hasil produksinya] dipakai sendiri. Jadi, mungkin produksi surplus, tetapi kalau kita lihat kondisinya di lapangan, ternyata banyak [produsen] yang tidak melepas ke pasar,” jelasnya.
Ketiga, pemerintah tidak memasukkan faktor CBP dalam perhitungan prognosis pangan 2023. Menurut Ketut, hal ini membuat data neraca beras yang disusun pemerintah tampak seolah-olah mengalami surplus.
“Pada saat membuat prognosis produksi beras 2023 sebanyak 31,9 juta ton. Kami tidak memasukkan kebutuhan cadangan pangan [CBP] sebanyak 2,4 juta ton. Kami hanya memasukkan angka konsumsi per tahun sebanyak 30,97 juta ton. Kalau untuk konsumsi saja, memang tahun ini kita masih surplus,” ujar Ketut.
Sekadar catatan, berdasarkan Prognosis Neraca Beras Nasional Januari—Desember 2023 yang disusun Bapanas, stok awal beras di Tanah Air diklaim sebanyak 4,92 juta ton, dengan perkiraan produksi GKG 55,40 juta ton, produksi beras 31,91 juta ton, impor 433.317 ton, dan ketersediaan sebanyak 32,35 juta ton.
Adapun, menurut prognosis tersebut, total kebutuhan konsumsi beras nasional tahun ini diperkirakan 30,97 juta ton; yang terdiri atas konsumsi langsung rumah tangga 22,66 juta ton dan konsumsi luar rumah tangga 8,30 juta ton.
Lebih lanjut, Ketut menilai ketiga faktor tersebut menjadi pemicu utama harga beras sulit dikendalikan pada tahun ini. Faktor-faktor tersebut belum termasuk potensi banyaknya beras varietas tertentu yang ditransisikan untuk substitusi impor beras khusus, seperti jenis jasmine rice.
“Jangan-jangan peralihan produksi beras lokal untuk substitusi impor beras khusus ini juga memengaruhi kemungkinan Bulog kesulitan menyerap dari dalam negeri. Namun, ini sedang kami analisis seberapa besar pengaruhnya,” tutur dia.
Berdasarkan data terakhir Bapanas, per 16 April 2023, rerata harga beras kualitas medium di tingkat nasional adalah Rp11.955/kg. Angka itu masih berada di atas harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp10.900/kg untuk Zona 1, Rp11.500/kg untuk Zona 2, dan Rp11.800/kg untuk Zona 3.
Harga beras medium termahal tercatat di Provinsi Kalimantan Utara dengan Rp13.800/kg, Papua Barat Rp13.733/kg, dan Sulawesi Utara Rp12.628/kg.
Sementara itu, harga beras medium terendah terpantau di Provinsi Nusa Tenggara Barat Rp10.550/kg, Jambi Rp10.763/kg, dan Papua Rp13.093/kg.
(wdh/frg)