Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta Wakil Ketua Bidang Perindustrian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bobby Gafur Umar, mendesak pemerintah untuk segera mencari solusi masalah penurunan daya beli guna menyelamatkan industri manufaktur Indonesia, yang kinerjanya makin memburuk.

Makin melemahnya kinerja manufaktur nasional tecermin dari data laporan terbaru S&P Global, yang mencatatkan bahwa Purchasing Manager's Index (PMI) Indonesia pada Agustus 2024 berada di posisi 48,9, kian merosot dari bulan sebelumnya di level 49,3. Ini sekaligus catatan terburuk kinerja manufaktur dalam 3 tahun.

"Pemerintah harus segera membuat keputusan dan program jangka pendek untuk menyelesaikan kondisi industri manufaktur, terutama yang terdampak langsung dari mengecilnya pasar ekspor dan menurunnya daya beli masyarakat," jelas Bobby ketika dihubungi, Senin (2/9/2024). 

Manufaktur. (Dok: Bloomberg)

Lebih lanjut, Bobby menegaskan keputusan atau kebijakan yang dapat diambil pemerintah tersebut, adalah dengan melakukan pengetatan perlindungan pasar dalam negeri dari serbuan barang impor, serta menurunkan suku bunga agar likuiditas di pasar meningkat.

Beban Pajak

Selain itu, dia menyoroti bahwa pemerintah tidak seharusnya menambah beban baru bagi daya beli masyarakat, seperti dengan kenaikan pajak dan cukai pada makanan dan minuman kemasan.

"Beberapa insentif untuk kelas menengah sudah ada, tetapi belum memberikan dampak yang maksimal untuk bisa mendongkrak daya beli, karena dalam beberapa tahun ini, kelas menengah menurun jumlahnya. Berarti, perkembangan ekonomi lebih banyak ke arah pemanfaatan sumber daya yang tidak bernilai tambah," tegasnya.

Sekadar catatan, indeks PMI diukur dengan angka 50 sebagai penanda zona ekspansi. Bila di angka 50 atau di atasnya, maka aktivitas manufaktur masih ekspansif atau bertumbuh positif. Sebaliknya bila di bawah 50, artinya aktivitas turun atau terkontraksi (tumbuh negatif).

"Penurunan PMI indeks ini sudah terprediksi sejak April 2024 yang [akan] turun terus. Dengan kondisi terkini, penurunan PMI ini akan bisa terus berlanjut [kedepannya]," tuturnya.

Sebelumnya, Apindo juga turut menyampaikan keresahannya mengenai penurunan indeks manufaktur RI. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani menyatakan bahwa penurunan indeks manufaktur Indonesia disebabkan oleh lemahnya permintaan pasar, baik domestik maupun ekspor, serta gangguan pasokan.

Dia pun menilai tidak ada solusi instan untuk mengatasi pemburukan kinerja industri domestik. Berkaca pada situasi tersebut, menurutnya, untuk mengembalikan laju manufaktur ke jalur ekspansif, diperlukan beberapa langkah strategis.

Pertama, pentingnya transisi kepemimpinan yang lancar tanpa gangguan sosial-politik yang signifikan.

Kedua, perlu ada stimulasi di sisi produktif, termasuk kemudahan dalam memperoleh bahan baku impor, akses pembiayaan yang terjangkau, serta deregulasi dan fasilitasi perizinan investasi.

Ketiga, pengamanan daya beli pasar. Hal ini bisa dilakukan melalui pengendalian inflasi kebutuhan pokok dan stimulus konsumsi untuk kelas menengah.

Dengan demikian, Shinta menekankan bahwa tidak ada "magic solution" untuk memperkuat daya saing industri manufaktur nasional tanpa perubahan ekosistem kebijakan yang holistik.

"Jadi semua solusi membutuhkan kerja sama pemerintah dengan pelaku usaha terkait untuk me-review kebijakan-kebijakan industri yang ada saat ini, agar sesuai denga kebutuhan daya saing industri manufaktur nasional sesuai dengan tuntutan demand pasar dalam dan luar negeri."

"Tidak bisa instan, perlu waktu dan perlu berproses bersama secara berkesinambungan agar upaya peningkatan daya saing industri nasional bisa terjadi secara sustainable," pungkasnya.

PMI manufaktur Indonesia sampai dengan Agustus 2024./dok. S&P

Sebagai catatan, kinerja manufaktur Indonesia kembali mengalami kontraksi untuk bulan kedua beruntun, dipicu makin turunnya kinerja produksi (output) dan pesanan baru pada Agustus dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Panelis S&P melaporkan bahwa permintaan pasar lebih lemah dibandingkan dengan Juli dan faktor utama yang mendorong pesanan baru lebih rendah. Penurunan pesanan luar negeri juga makin cepat, mencapai yang tertajam sejak Januari 2023.

Kendala logistik dan penurunan stok di vendor menyebabkan waktu tunggu yang lebih lama untuk pengiriman, sementara harga bahan baku terus meningkat akibat nilai tukar yang tidak menguntungkan.

Meski demikian, inflasi harga input mulai mereda meskipun tetap tinggi, dan perusahaan terus menaikkan biaya output secara moderat. Ini menandakan bahwa inflasi di sektor manufaktur masih berlangsung, kini memasuki bulan ke-14 berturut-turut.

Ke depan, meskipun tingkat keyakinan produsen sedikit menurun dibandingkan bulan sebelumnya, para produsen tetap optimis bahwa produksi akan meningkat dalam satu tahun mendatang. Selain itu, produsen berharap situasi ekonomi akan stabil, memungkinkan peningkatan produksi dan pesanan baru.

(prc/wdh)

No more pages