Bloomberg Technoz, Jakarta – Institute For Development of Economics and Finance (Indef) menilai penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi yang terjadi pada September tidak serta-merta mampu meningkatkan daya beli masyarakat di tengah kondisi deflasi yang terjadi selama empat bulan beruntun.
Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti mengatakan hal ini terjadi karena konsumen BBM nonsubsidi adalah masyarakat kelas menengah ke atas, sehingga kontribusinya kecil untuk mendongkrak daya beli.
“BBM nonsubsidi kan konsumennya kelas masyarakat berpendapatan menengah ke atas. Kontribusinya kecil untuk mendongkrak daya beli. Kecuali harga BBM subsidi turun,” ujar Esther saat dihubungi, Senin (2/9/2024).
Di lain sisi, Esther menilai deflasi yang kembali terjadi pada Agustus terjadi karena perekonomian masih lesu, di mana tekanan terhadap daya beli masyarakat masih terjadi. Fenomena ini, kata Esther, dapat dilihat melalui penurunan jumlah kelompok kelas menengah.

Sekadar catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan sebanyak 47,85 juta masyarakat Kelas Menengah atau sekitar 17,13% dari total penduduk rentan turun kelas ke kelompok Menuju Kelas Menengah.
Berdasarkan hasil Susenas Maret 2024, kategori Kelas Menengah merupakan masyarakat dengan pengeluaran diatas Rp2.040.262 per kapita per bulan hingga Rp9.09.844 per kapita per bulan.
Sementara itu, nilai tengah atau median pengeluaran Kelas Menengah tercatat sebesar RP2.846.440 per kapita per bulan. Walhasil, pengeluaran Kelas Menengah cenderung mendekati batas bawah pengelompokan dan hanya berarak Rp806.178 dari batas bawah pengelompokan.
Selain itu, Esther mengatakan, tekanan terhadap daya beli juga dapat dilihat melalui jumlah dana pihak ketiga masyarakat di sektor perbankan yang menurun.
Sekadar catatan, DPK perbankan nasional per Desember 2023 mengalami penurunan pertumbuhan. DPK per Desember 2023 mencapai Rp8.457,9 triliun. Angka ini masih naik 3,73% secara tahunan.
Kepala Eksekutif LPS Lana Soelistianingsih mengatakan, ada pergeseran minat dari tabungan ke instrumen investasi lainnya di balik tren tersebut.
"Masyarakat mulai mendiversifikasi investasinya ke instrumen pasar keuangan, tidak lagi hanya mengandalkan produk simpanan perbankan," terang Lana Soelistyaningsih dalam kegiatan Bloomberg Technoz Economic Outlook 2024.
Pada Senin (2/9/2024), Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini melaporkan terjadi deflasi 0,03% pada Agustus dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau secara month to month (mtm).
Komoditas penyumbang utama deflasi Agustus, lanjut Pudji,adalah bawang merah, daging ayam ras, tomat, dan telur ayam ras.
Adapun, inflasi inti mengalami inflasi 0,2% mtm dengan andil inflasi 0,13%. Komoditas yang dominan menyumbang inflasi kelompok ini adalah kopi bubuk, emas perhiasan, biaya sekolah SD, biaya pendidikan tinggi, dan biaya sekolah SMA.
Inflasi kelompok barang dan jasa yang diatur pemerintah (administered price) adalah 0,23% dengan andil 0,04%. Komoditas yang menyumbang inflasi adalah bensin dan Sigaret Kretek Mesin.
"Dalam 5 tahun terakhir, terjadi deflasi pada Agustus kecuali 2021. Deflasi Agustus disumbangkan oleh penurunan harga komoditas bergejolak. Makanan-minuman dan tembakau menjadi penyumbang utama deflasi Agustus 2020-2024," terang Pudji.
(dov/wdh)