Sementara itu, bagi kelompok yang mampu, subsidi tarif KRL merupakan bentuk insentif agar mereka mau meninggalkan kendaraan pribadinya dan beralih ke angkutan umum.
Jadi Bumerang
Sebaliknya, bila pemerintah lebih menekankan kepada skema subsidi tepat sasaran berbasis NIK, hal itu hanya akan dirasakan oleh golongan tidak mampu saja.
Pada akhirnya, kebijakan itu justru akan menjadi bumerang alias kontraproduktif dengan upaya pemerintah mendorong penggunaan transportasi publik guna menekan emisi karbon, menjaga kualitas udara, dan mengurangi kemacetan.
"Kalau subsidi transportasi keuntungannya dapat dinikmati oleh semua warga yang menggunakan angkutan umum, polusi udara juga dapat dikurangi karena berkurangnya penggunaan kendaraan pribadi dan beralih ke KRL, kemacetan wlayah Jabodetabek juga dapat dikurangi karena sebagian motor dan mobil parkir di stasiun dan penggunanya melanjutkan perjalanan dengan menggunakan KRL. Anggaran negara mungkin juga bisa dihemat karena subsidi untuk BBM bisa ditekan," terang Darman.
Di lain sisi, Darman menyarankan agar Kementerian Perhubungan segera melakukan penyesuaian tarif KRL Jabodetabek bila memang berencana mengurangi subsidi tarif.
Menurutnya, penyesuaian tarif yang belum pernah dilakukan sejak 2016 tersebut akan berdampak positif pada pengurangan beban subsidi serta menjaga kualitas layanan KRL Jabodetabek.
Namun, dia tetap menggarisbawahi bahwa gagasan penggunaan NIK untuk menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan subsidi tarif KRL Jabodetabek menurutnya tidak relevan.
Penyebabnya, ujar Darman, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kemenhub sudah melakukan perhitungan mengenai potensi penghematan subsidi dengan penyesuaian tarif sebesar Rp2.000 untuk 15 km pertama.
"Kalau orang naik KRL sepanjang 15 km dan membayar Rp. 5.000 itu masih amat terjangkau. [Masyarakat] yang betul-betul tidak mampu, baru mengajukan permohonan keringanan, dan saat itulah penggunaan NIK baru relevan. Akan tetapi, kalau penggunaan NIK untuk semua pengguna KRL Jabodetabek dan layanan KCI lainnya jelas tidak tepat," jelasnya.
Kemenhub sendiri telah mengonfirmasi perihal rencana pemerintah menerapkan subsidi untuk layanan KRL Jabodetabek berdasarkan NIK.
Direktur Jenderal Perkeretaapian Kemenhub Risal Wasal membenarkan rencana subsidi KRL Jabodetabek berdasarkan NIK pada 2025 tersebut memang merupakan bagian dari upaya DJKA dalam melakukan penyesuaian tarif KRL dengan subsidi yang lebih tepat sasaran.
“[Namun,] DJKA memastikan belum akan ada penyesuaian tarif KRL Jabodetabek dalam waktu dekat. Dalam hal ini, skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK belum akan segera diberlakukan,” tegasnya melalui pernyataan tertulis, Kamis (29/8/2024).
Risal mengatakan skema penyaluran subsidi tarif KRL Jabodetabek berdasarkan NIK tersebut masih harus dibahas lebih lanjut dengan pemangku kepentingan lainnya, guna memastikan subsidi nonenergi untuk public service obligation (PSO) sektor transportasi Tahun Anggaran 2025 tepat sasaran.
"Nantinya skema ini akan diberlakukan secara bertahap, dan akan dilakukan sosialisasi kepada masyarakat sebelum ditetapkan," ujarnya.
Dia pun menekankan DJKA akan membuka diskusi publik dengan akademisi dan perwakilan masyarakat untuk memastikan skema tarif yang akan diberlakukan tidak memberatkan pengguna jasa layanan KRL Jabodetabek.
Diskusi publik ini akan dilakukan setelah skema pentarifan selesai dibahas secara internal, dan merupakan bagian dari sosialisasi kepada masyarakat.
Sebelumnya, pemerintah diketahui telah memiliki rencana untuk mengubah skema penyaluran subsidi bagi layanan transportasi KRL Jabodetabek menjadi berbasis NIKpada 2025.
Rencana tersebut terkuak di dalam Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pada bagian subsidi nonenergi, yang berkaitan dengan upaya perbaikan dan peningkatan layanan umum di bidang transportasi dan penyediaan informasi publik.
Dalam RAPBN 2025, total subsidi nonenergi untuk kewajiban pelayanan publik atau PSO dipagu senilai Rp7,96 triliun, naik 0,9% dari outlook Tahun Anggaran 2024 yang berjumlah Rp7,88 triliun.
Secara terperinci, subsidi tersebut akan digunakan termasuk untuk PSO transportasi, di mana PT Kereta Api Indonesia (KAI) dijatah subsidi PSO senilai Rp4,79 triliun untuk layanan KA ekonomi jarak jauh, jarak sedang, jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, kereta rel diesel (KRD) ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodetabek.
Menurut dokumen RAPBN 2025 tersebut, khusus untuk perbaikan layanan KRL Jabodetabek, pemerintah akan menerapkan skema distribusi subsidi berdasarkan NIK, meski tidak dielaborasi lebih lanjut mengenai detail pelaksanaan skema baru tersebut.
Dokumen tersebut juga belum mengelaborasi kriteria pemegang NIK yang berhak mendapatkan tarif tiket bersubsidi untuk layanan KRL Jabodetabek.
"Beberapa perbaikan [layanan PSO sektor transportasi] antara lain: penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek," tulis dokumen tersebut.
(prc/wdh)