Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Sanur – Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan Indonesia akan menjadi negara yang diuntungkan bila kondisi defisit (shortfall) tembaga di dunia terjadi dalam beberapa tahun ke depan, sesuai proyeksi berbagai lembaga internasional.

Penyebabnya, Rizal menyebut cadangan bijih tembaga di PT Freeport Indonesia (PTFI) diproyeksikan bisa bertahan hingga 2061—2064 atau sekitar 37—40 tahun mendatang dengan proyeksi volume sekitar 4 miliar ton.

Belum lagi, bila Freeport melanjutkan eksplorasi lanjutan yang pastinya akan meningkatkan jumlah cadangan dan akan menambah umur tambangnya.

“Tentu saja kalau terjadi shortfall tembaga global akan menguntungkan Indonesia karena harga akan bergerak naik. Pemerintah bisa memperoleh devisa negara dan pendapatan negara baik dari pajak dan nonpajak,” ujar Rizal kepada Bloomberg Technoz, dikutip Jumat (30/8/2024).

Pekerja menumpuk tembaga batangan./Bloomberg-Dhiraj Singh

Berdasarkan catatan PTFI, penerimaan negara dari perusahaan pengelola tambang Grasberg, Papua itu bakal menembus Rp1.200 triliun pada 2041 atau saat habisnya masa izin usaha pertambangan khusus (IUPK) saat ini.

Sampai dengan semester I-2023, kontribusi Freeport terhadap penerimaan negara telah mencapai US$1,4 miliar (sekitar Rp21,50 triliun). Hingga akhir 2023, sumbangsih perseroan ke pendapatan diperkirakan mencapai US$3,5 miliar atau sekitar Rp54,5 triliun atau relatif stabil dari setoran pada 2022 senilai Rp55 triliun.

Selain itu, Rizal mengatakan smelter katoda tembaga milik Freeport juga bakal menguntungkan Indonesia karena akan memperoleh nilai tambah dari penghiliran atau hilirisasi tersebut.

“Diharapkan akan tumbuh industri turunan dari tembaga lainnya di Indonesia, sehingga akan membuka lapangan kerja dan pendapatan negara,” ujarnya.

BHP Group Ltd, perusahaan tambang terbesar di dunia, sebelumnya menerbitkan prospek jangka pendek yang hati-hati untuk tembaga, sambil tetap berpegang pada pandangan yang dianut secara luas bahwa logam transisi energi tersebut pada akhirnya akan mengalami defisit stok yang parah dan harga yang jauh lebih tinggi.

Pemasok tembaga terbesar kedua di dunia itu memangkas perkiraannya untuk permintaan China tahun ini, dan memperingatkan adanya surplus global yang moderat hingga akhir 2025, dalam ikhtisar pasar komoditas yang dirilis dengan pendapatan setahun penuhnya.

"Ini adalah penurunan dari ekspektasi kami sebelumnya, yang mencerminkan pergeseran yang sedang berlangsung di pasar real estat China," kata perusahaan tambang itu dalam ikhtisarnya. Kemungkinan akan ada lebih banyak volatilitas di seluruh pasar komoditas selama 18 bulan ke depan, kata perusahaan.

Logam tersebut telah menjadi subjek dari prakiraan harga yang mencengangkan karena hanya ada sedikit tambang baru besar dalam rencana.

"Dengan kondisi defisit yang kami antisipasi pada sepertiga akhir [dekade] 2020-an, ada kemungkinan kita memasuki rezim harga 'terbang naik', di mana harga terputus dari kurva biaya karena kelebihan permintaan sistematis atas pasokan di tengah tingkat persediaan yang tidak memadai."

(dov/wdh)

No more pages