Pengeluaran transportasi kelas menengah, sebagaimana data yang pernah dilansir oleh Kantor Kepala Ekonom Bank Mandiri beberapa waktu lalu, berkisar antara 8,7%, makin membesar bila dibandingkan dengan awal 2023 yang masih 5,1%.
Pada saat yang sama, pengeluaran kebutuhan primer seperti makanan dan groceries melompat hingga 49% pada Mei 2024 dari sebesar 36,7% lebih pada setahun sebelumnya.
Dengan pengeluaran dasar yang makin besar hingga mempersempit alokasi konsumsi durable goods, kenaikan berbagai tarif seperti pajak, BBM hingga tarif transportasi publik bila benar terjadi, akan kian menekan keuangan msyarakat, terutama kelas menengah.
Kelas menengah di Indonesia terimpit karena dinilai terlalu kaya untuk mendapatkan bantuan sosial, tetapi juga dilihat terlalu miskin mendapatkan keringanan pajak seperti kelas atas.
Kajian LPEM UI mencatat, penurunan tingkat kesejahteraan kelas menengah di Indonesia sejak 2018 memang menyeret kinerja kinerja konsumsi mereka.
Pada 2018, sumbangan konsumsi kelas menengah terhadap total konsumsi rumah tangga di Indonesia, motor utama pertumbuhan ekonomi, masih sebesar 41,9%. Namun, pada 2023, kontribusi konsumsi kelas ini tinggal 36,8%.
Kriteria penerima subsidi tiket
Mengacu Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, total subsidi nonenergi untuk kewajiban pelayanan publik atau public service obligation (PSO) dipagu senilai Rp7,96 triliun, naik 0,9% dari outlook Tahun Anggaran 2024 yang berjumlah Rp7,88 triliun.
Secara terperinci, subsidi tersebut akan digunakan termasuk untuk PSO transportasi, di mana PT Kereta Api Indonesia (KAI) dijatah subsidi PSO Rp4,79 triliun untuk layanan KA ekonomi jarak jauh, jarak sedang, jarak dekat, KA ekonomi Lebaran, kereta rel diesel (KRD) ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan LRT Jabodetabek.
Dokumen tersebut belum mengelaborasi kriteria pemegang NIK yang berhak mendapatkan tarif tiket bersubsidi untuk layanan KRL Jabodetabek. “Beberapa perbaikan [layanan PSO sektor transportasi] antara lain: penerapan tiket elektronik berbasis NIK kepada pengguna transportasi KRL Jabodetabek,” tulis dokumen tersebut.
Rencana pergeseran skema distribusi subsidi tiket KRL Jabodetabek tersebut sejalan dengan desas-desus wacana penyesuaian tarif transportasi publik itu belum lama ini.
Bahkan, Direktur Operasi dan Pemasaran PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) atau KAI Commuter Broer Rizal pernah mengonfirmasi perseroan telah mengusulkan kenaikan tarif KRL Jabodetabek kepada Kementerian Perhubungan sebagai regulator.
Meski begitu, dia menyebut KAI Commuter masih senantiasa menunggu hasil keputusan dari pemerintah untuk penyesuaian tarif commuter line Jabodetabek.
"Itu kebijakan dari pemerintah ya. Kalau kami hanya eksekutor untuk melaksanakan apa yang menjadi keputusan pemerintah. Usulan dan pembahasannya sudah dilakukan di Kemenhub," ungkap Broer saat ditemui, akhir April.
Dalam pernyataan terakhir yang dilansir hari ini, Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan memastikan belum akan ada penyesuaian tarif KRL Jabodetabek dalam waktu dekat. Dalam hal ini, skema penetapan tarif KRL Jabodetabek berbasis NIK belum akan segera diberlakukan.
Kelas menengah banyak turun kelas
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rapat kerja bersama parlemen pada Rabu juga mencatat, jumlah kelas menengah makin menurun dalam lima tahun terakhir.
Dengan kata lain, ada banyak kalangan masyarakat yang semula memiliki kualifikasi kemampuan ekonomi di kelas menengah, turun kelas alias terdegradasi menjadi kelas di bawahnya.
BPS mencatat, pada 2019 jumlah kelas menengah di RI mencapai 57,33 juta orang atau 21,45% dari total penduduk. Angkanya turun pada 2023 menjadi tinggal 48,27 juta orang atau 17,44% dari total. Tahun ini, jumlah penduduk yang termasuk kategori kelas menengah makin susut tinggal 47,85 juta orang atau 17,13% dari populasi.
Menurut kriteria BPS, kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran antara 3,5-17 kali garis kemiskinan yang ditetapkan Bank Dunia atau sekitar Rp2.040.262 hingga Rp9.909.844 per kapita per bulan.
Adapun, kriteria kelas menuju kelas menengah adalah mereka dengan pengeluaran berkisar 1,5-3,3 kali garis kemiskinan atau antara Rp874.398 sampai Rp2.040.262 per kapita per bulan.
Modus alias rata-rata umum nilai pengeluaran kelas menengah di Indonesia, menurut BPS, sejauh ini memang lebih dekat ke batas bawah yaitu sebesar Rp2.056.494 per kapita per bulan.
(rui/wdh)