Pada tahun ini, Kemenag mengusulkan menjadi Rp 98.893.909 dengan skema persentase komposisi BPIH sebesar Rp 69.193.734 atau 70%, dan nilai manfaat sebesar Rp 29.700.175 atau 30%.
Adapun komponen yang dibebankan langsung kepada jemaah (BPIH) yang sebesar 70% ini yakni digunakan untuk membayar Biaya Penerbangan dari Embarkasi ke Arab Saudi (PP) sebesar Rp 33.979.784., Akomodasi Makkah sebesar Rp18.768.000., Akomodasi Madinah sebesar Rp 5.601.840,00., Living Cost Rp 4.080.000., Visa sebesar Rp 1.224.000., dan Paket Layanan Masyair sebesar Rp 5.540.109.
Kemenag menilai, adanya perubahan skema persentase tersebut ditujukan untuk menjaga nilai manfaat yang menjadi hak seluruh jamaah haji Indonesia tidak tergerus habis.
Direktur Jenderal (Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umroh Kemenag, Hilman Latief, menyebutkan bahwa pemanfaatan nilai manfaat yang dikelola oleh BPKH sejak 2010 hingga 2022 terus mengalami peningkatan. Terakhir, pada 2022, meningkat sebesar 59% karena Arab Saudi menaikkan layanan biaya Masyair sejak dimulai kembali operasional haji yang sempat terhenti karena pandemi Covid-19.
“Kondisi ini sudah tidak normal dan harus disikapi dengan bijak," jelasnya seperti dikutip dalam rilis yang sama.
Selain itu, Yaqut juga mengatakan bahwa kebijakan formulasi komponen BPIH ini diambil dalam rangka penyeimbangan antara besaran jumlah jamaah haji dengan dana nilai manfaat yang dikelola oleh BPKH pada masa yang akan datang.
“Selain untuk menjaga itu (BPKH), yang kedua ini juga soal istitha'ah, kemampuan menjalankan ibadah. Kan, ada syarat jika mampu. Haji itu jika mampu. Kemampuan ini harus terukur, kami mengukurnya dengan nilai segitu,” sambungnya.
Mantan Ketua GP Ansor sekaligus politisi partai PKB tersebut juga menilai saat ini besaran usulan angka tersebut masih belum final, pihaknya masih menunggu pembahasan lanjutan Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk oleh Komisi VIII DPR.
"Ini baru usulan, berapa biaya yang nanti disepakati, tergantung pembicaraan di Panja," tandasnya.
(ibn/roy)