Penambahan produksi melalui penawaran idle well dalam jumlah yang minim juga diproyeksikan hanya menambah produksi sebesar 1.000 hingga 2.000 barel per hari atau barrel oil per day (BOPD), padahal Indonesia memiliki target lifting minyak 1 juta BOPD pada 2030, yang kemungkinan bakal diundur selama 2—3 tahun.
Selain itu, Moshe mengkhawatirkan pemain kecil yang menggarap idle well pada akhirnya tidak memiliki modal yang cukup, sehingga bakal kembali menjual sumur tersebut.
Dipegang Pertamina
Lebih lanjut, Moshe mengatakan sekitar 70% produksi minyak nasional saat ini dipegang oleh PT Pertamina (Persero).
Adapun, kata Moshe, Pertamina melalui Pertamina EP setidaknya menguasai lapangan seluas 114.000 kilometer persegi yang membentang dari Sabang hingga Merauke.
“Kalau dilihat dari produksinya itu cuma sekitar 70.000 BOPD. Jadi, kalau kita perhatikan berarti pengelolaan 114.000 kilometer persegi itu saya lihat kurang begitu efektif,” ujarnya.
Dengan kondisi seperti itu, Moshe menilai, banyak lapangan yang tidak dikerjakan secara efektif, yang diproyeksikan mencapai 80%, padahal potensinya besar.
Dengan demikian, Moshe mengusulkan agar 80% lapangan yang tidak dikelola secara efektif itu dikembalikan kepada pemerintah.
Dengan demikian, pemerintah bisa menawarkan lapangan tersebut dengan skema yang lebih menarik, yakni production sharing contract (PSC) dan bukan dengan skema dibandingkan kerja sama operasional (KSO) atau idle well.
“Itu akan mengundang investor-investor yang skalanya lebih besar dan lebih capable. Lebih bisa mengelola lapangan yang lebih besar. Jadi, itu akan jauh lebih menarik,” ujarnya.
Selain itu, Moshe menggarisbawahi 80% lapangan tersebut juga tergolong menarik karena sebelumnya sudah dikelola.
“Hal ini karena area itu datanya sudah banyak. Sudah ada pengeboran, sudah ada yang produksi pula. Dengan datanya lebih besar, berarti resikonya lebih kecil,” ujarnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya memproyeksikan realisasi produksi siap jual atau lifting minyak Indonesia gagal mencapai 600.000 barel per hari atau BOPD pada 2024.
Menurutnya, realisasi maksimal lifting minyak Indonesia pada 2024 hanya bertengger pada angka 580.000 BOPD.
Dengan kata lain, proyeksi yang disampaikan oleh Bahlil meleset dari target yang ditetapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 sebesar 635.000 BOPD.
“Bahkan, feeling saya pada 2024, [lifting minyak] 600.000 BOPD tidak akan tercapai, maksimal di angka 580.000 BOPD, saya agak sedikit tahu data ini karena saya Dewan Pengawas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi [SKK Migas] waktu [menjabat menteri] investasi,” ujar Bahlil dalam agenda rapat kerja bersama Komisi VII DPR RI, Senin (26/8/2024).
Bahlil menggarisbawahi selama ini 65% lifting minyak sebesar 600.000 BOPD berasal dari PT Pertamina (Persero), sementara 25% dari ExxonMobil, dan 10% berasal dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) kecil.
Namun, dari total sumur yang ada saat ini sebanyak 44.900, hanya 16.300 sumur yang berproduksi dan terdapat 16.150 sumur idle. Bahkan, terdapat 5.000 sumur yang tidak dioptimalkan.
“Nanti kita bikin lagi nanti mazhabnya seperti mazhab izin usaha produksi [IUP]. Ini kan semua konsesi punya negara. Kemudian diberikan pengelolaannya kepada KKKS yang BUMN dan bukan BUMN. Sekarang kalau itu tidak dilakukan untuk apa? Mending kita buka [dijual/ditawarkan] untuk swasta nasional atau swasta asing yang mau mengelola sumur-sumur ini,” ujarnya.
(dov/wdh)