Beleid tersebut mengatur tentang ekuitas atau modal minimum perusahaan asuransi dan reasuransi yang bakal naik secara bertahap. Peningkatan ekuitas minimum dibagi menjadi dua tahap.
Tahap pertama, setiap perusahaan asuransi wajib memiliki ekuitas minimum sebesar Rp250 miliar, perusahaan asuransi syariah Rp100 miliar, perusahaan reasuransi Rp500 miliar dan perusahaan reasuransi syariah Rp200 miliar. Ekuitas minimum ini harus dipenuhi paling lambat 31 Desember 2026.
Tahap kedua, OJK memberlakukan klasterisasi atau pengelompokan perusahaan perasuransian berdasarkan ekuitas. Ini diberlakukan paling lambat pada 31 Desember 2028.
Pengelompokkan perusahaan perasuransian terbagi menjadi dua, pertama Kelompok Perusahaan Perasuransian berdasarkan Ekuitas (KPPE) 1 dan KPPE 2.
Asuransi golongan KPPE 1 wajib punya ekuitas paling kecil Rp500 miliar, perusahaan asuransi syariah Rp200 miliar, perusahaan reasuransi Rp1 triliun dan perusahaan reasuransi syariah Rp400 miliar.
Bagi perusahaan asuransi golongan KPPE 2 harus mempunyai ekuitas minimum sebesar Rp1 triliun, perusahaan asuransi syariah Rp500 miliar, perusahaan reasuransi Rp2 triliun dan perusahaan reasuransi syariah Rp1 triliun.
Selain itu, dalam POJK tersebut regulator juga bakal membentuk Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi (KUPA), di mana nantinya akan ada satu perusahaan yang akan menjadi induk usaha dengan ekuitas yang memadai.
Adapun ekuitas menimum yang wajib dipenuhi oleh perusahaan induk KUPA mengikuti ekuitas minimum dalam KPPE 2 yang telah disebutkan di atas.
Alvin memperkirakan, terdapat 33% dari total perusahaan asuransi, tidak termasuk unit usaha syariah (UUS), yang memiliki modal kurang Rp250 miliar.
Kecil kemungkinan mereka memenuhi modal minimum secara organik dalam situasi saat ini. Sehingga, M&A merupakan opsi yang cukup logis.
Di tengah lesunya industri asuransi itu juga, OJK memberikan insentif yang lebih besar untuk M&A bagi perusahaan yang sudah ada maupun baru, yang ingin memasuki pasar Indonesia. Sebab, tampaknya mustahil untuk bergantung sepenuhnya pada pertumbuhan organik untuk memenuhi persyaratan baru.
"Kami yakin bahwa langkah tersebut berada di arah yang benar karena lebih baik jika perusahaan yang lebih besar saling bersaing daripada mengambil alih pangsa pasar pemain yang lebih kecil. Dengan sedikitnya pemain besar, regulasi juga menjadi lebih mudah," tutur Alvin.
Isu Akuisisi
Pekan lalu, pasar diramaikan oleh isu rencana akuisisi Maybank (BNII) atas PT Asuransi Jiwa Syariah Mitra Abadi Tbk (JMAS) atau JMA Syariah.
Kospin Jasa, pemegang 57,95% saham JMA Syariah (JMAS) dikabarkan akan melepas kepemilikannya kepada Maybank. Kospin merupakan pemegang saham mayoritas JMA Syariah.
Kospin kabarnya menawarkan porsi kepemilikannya senilai Rp200 miliar. Sementara, Maybank ingin harga lebih rendah, antara Rp100 miliar hingga Rp150 miliar.
Namun, Maybank kabarnya tidak hanya menjadikan JMAS sebagai satu-satunya target akuisisi. Perusahaan asal Malaysia itu juga membidik entitas Grup Panin untuk diakuisisi.
Berdasarkan informasi dari pelaku pasar yang mengetahui rencana ini, Maybank membidik dua entitas sekaligus, yakni PT Panin Financial Tbk (PNLF) dan PT Panin Bank Tbk (PNBN).
Maybank dikabarkan memberi penawaran dua kali nilai buku atau price to book value (PBV).
Pada saat yang bersamaan, Panin Financial (PNLF) juga memang memiliki bisnis asuransi. Segmen ini dijalankan oleh PT Panin Dai-Ichi Life.
Manajemen Maybank belum bisa memberikan tanggapannya terkait isu tersebut.
Direktur Utama PNBN Herwidayatmo mengaku belum mendengar kabar tersebut. Isu akuisisi ada di ranah pemegang saham.
"Itu merupakan bagian dari shareholders' action, dan hal ini merupakan urusan pemegang saham," kata Herwidayatmo kepada Bloomberg Technoz belum lama ini.
(red)