Laporan ini muncul karena meredanya tekanan harga di berbagai negara termasuk Amerika Serikat (AS) telah memberikan ruang bagi bank-bank sentral untuk mulai melakukan pemangkasan suku bunga.
Filipina menurunkan biaya pinjaman dari level tertinggi dalam 17 tahun terakhir di awal bulan ini, sementara Indonesia dan Thailand telah mengisyaratkan keterbukaan untuk melonggarkan pengaturan moneter.
Tren inflasi di Malaysia sangat bergantung pada tingkat pencabutan subsidi, yang menjelaskan mengapa Malaysia menghadapi risiko pengetatan moneter lebih lanjut tidak seperti negara-negara lain. Hal ini juga disebabkan karena efek inflasi dari pencabutan subsidi sangat tidak pasti, menurut OECD.
Perdana Menteri Anwar Ibrahim mengizinkan harga diesel untuk mengambang di Juni untuk memperkuat keuangan pemerintah. Ia berniat untuk melakukan hal yang sama pada bahan bakar RON95 yang lebih banyak disubsidi dan paling banyak digunakan.
Langkah ini berpotensi meningkatkan inflasi sebesar 3,05 poin persentase, menurut perhitungan analis RHB Bank Bhd Chin Yee Sian, yang memperkirakan pemerintah akan mendorong penghapusan subsidi RON95 paling cepat pada akhir tahun 2024.
Malaysia meningkatkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin selama siklus pengetatan selama satu tahun yang dimulai pada Mei 2022, sehingga membawa suku bunga kebijakan semalam ke level 3% dari rekor terendah 1,75% selama pandemi.
Giro Wajib Minimum (GWM) yang juga dipangkas selama puncak Covid-19 tetap berada di bawah level sebelum pandemi.
Dalam skenario terbaik, menghapus subsidi energi dapat meningkatkan inflasi untuk sementara waktu, kata OECD. Namun, mungkin juga ada efek putaran kedua yang lebih tahan lama dan tekanan ke atas yang lebih luas, katanya.
"Dengan latar belakang ini, penting untuk menghindari pelonggaran sikap moneter yang terlalu dini dan merespons dengan cepat setiap tekanan inflasi yang dapat diakibatkan oleh reformasi subsidi yang direncanakan," kata laporan OECD.
(bbn)