Moshe menggarisbawahi isu kontrak gross split di Indonesia selalu dibelit masalah klasik seputar ketidakpastian pembagian hasil bagi KKKS di sektor hulu migas, khususnya di tahap eksplorasi.
Dalam hal ini, besaran bagi hasil selalu saja baru bisa diketahui setelah kontraktor menuntaskan rencana pengembangan atau plan of development (POD) atas proyek yang akan dia garap.
“Bayangkan kalau kita eksplorasi yang bisa sampai 6—10 tahun, tanpa kita tahu pasti nanti akan dapat berapa split-nya. Kita cuma tahu base split-nya doang, tetapi tidak tahu variabel split-nya berapa. Jadi itu ada di tangan pemerintah, ngasih tahunya baru nanti. Nah, itu sangat memberikan ketidakpastian,” tutur Moshe.
Masalah bagi Eksplorasi
Hal tersebut, menurut Moshe, menjadi alasan mengapa skema gross split lebih disukai oleh kontraktor yang sudah memasuki fase produksi di lapangan-lapangan migas yang relatif sudah mature atau beroperasi.
Sebaliknya, investor yang baru akan terjun ke tahap eksplorasi cenderung merasa dirugikan. “Lapangan-lapangan yang sudah produksi pakai gross split karena di awal sudah bisa dihitung berapa split-nya. Akan tetapi, kalau eksplorasi tidak bisa.”
Permasalahannya, saat ini Indonesia justru sedang membutuhkan peningkatan eksplorasi untuk mengoptimalkan sumber cadangan dan produksi migas di dalam negeri. Selain eksplorasi, Indonesia juga membutuhkan proses enhanced oil recovery (EOR).
Dengan demikian, Moshe menilai hal yang dibutuhkan KKKS adalah mendapatkan kepastian mengenai skema bagi hasil sejak awal, bahkan sebelum POD rampung, khususnya untuk tahap eksplorasi.
“Kalau di luar sana, gross split sudah clear di depan. Jadi investor sudah tahu bakalan dapat berapa di depan, walaupun dia masih tahap eksplorasi, tetapi sudah clear. Sama seperti royalti. Di luar negeri, di Amerika, itu mayoritas pakai royalti. Sudah clear di depan, bakalan dapat berapa. Mau itu nanti si kontraktor untung besar-besaran, atau si kontraktor buntung besar-besaran, itu risiko si kontraktor. Di satu sisi kan pemerintah sama sekali enggak ada risiko yang diambil. Zero risk. Jadi mau kontraktornya untung besar, enggak ada rugi juga untuk negara,” terang Moshe.
Sekadar catatan, aturan kontak bagi hasil gross split yang baru (New GS) tertuang di dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 13/2024 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split, yang diundangkan pada 12 Agustus 2024.
Dalam aturan baru, pemerintah menyederhanakan komponen variabel bagi hasil dari 13 komponen menjadi hanya 5 komponen.
Selain itu, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM Ariana Soemanto menjelaskan, dalam skema New GS, kontraktor atau investor hulu migas bisa mendapatkan bagi hasil antara 75%—95%.
"Sedangkan kontrak GS lama, untuk mendapatkan keekonomian yang layak, sebagian besar kontrak harus mengajukan tambahan split ke pemerintah, suatu ketidakpastian bagi kontraktor," ujarnya melalui pernyataan resmi Kementerian ESDM, akhir pekan lalu.
Skema yang baru ini juga dinilai lebih kompetitif untuk menggaet investasi di proyek migas nonkonvensional (MNK), seperti di Blok Rokan. Pasalnya, kontraktor kini bisa mendapatkan split langsung hingga 93%—95%.
Permen New GS yang baru terbit tersebut, terang Ariana, pada prinsipnya berlaku untuk kontrak baru ke depan.
Sementara itu, kontrak GS eksisting yang belum mendapatkan persetujuan rencana pengembangan atau plan of development (POD-1), dapat mengajukan perubahan ke New GS. Kontraktor migas nonkonvensional pun dapat mengajukan perubahan ke New GS.
Tidak hanya itu, peraturan baru tersebut juga mengakomodasi perubahan kontrak gross split eksisting yang mau beralih ke skema cost recovery.
"Selain itu, kontrak skema cost recovery yang ditandatangani pascapenerbitan permen New GS ini terbit, dapat berubah ke New GS, begitu juga sebaliknya. Jadi memberikan fleksibilitas ke depan," tambah Ariana.
Sekadar catatan, pemerintah saat ini memang menyiapkan berbagai kebijakan agar investasi migas makin menarik. Untuk kontrak migas baru atau blok migas baru (pada kontrak skema cost recovery) diberikan split bagi kontraktor yang bisa mencapai 45%—50%.
"Dahulu kan hanya 15%—30%. Hulu migas Indonesia akhir-akhir ini dibuat lebih menarik untuk mendorong eksplorasi dan optimalisasi produksi," kata Ariana.
Berdasarkan catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi investasi hulu migas hanya mencapai US$5,6 miliar pada semester I-2024.
Realisasi tersebut baru 75% dari target sebesar US$7,43 miliar pada semester I-2024. Sementara itu, untuk keseluruhan 2024, SKK Migas menargetkan US$12,9 miliar.
(wdh)