Bloomberg Technoz, Jakarta – Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) mendesak agar komoditas Minyakita tidak lagi dijual di ritel modern, terutama setelah diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan No. 18/2024.
Adapun, Permendag No. 18/2024 mengatur tentang Minyak Goreng Sawit Kemasan dan Tata Kelola Minyak Goreng Rakyat (MGR) yang baru ditetapkan pada 13 Agustus tahun ini.
Direktur Eksekutif GIMNI Sahat M. Sinaga menjelaskan regulasi tersebut sebenarnya turut ditujukan untuk mendukung agar masyarakat tidak lagi menggunakan minyak goreng curah dan berpindah ke minyak goreng kemasan, yang dalam hal ini adalah Minyakita.
Hal itu berkaitan juga dengan upaya pemenuhan masyarakat luas —terutama kelompok warga berpenghasilan rendah— terhadap minyak goreng sehat, dengan harga eceran tertinggi (HET) di level Rp15.700/liter atau di bawah harga pasar minyak goreng kemasan premium.
“[Untuk itu] Minyakita [seharusnya] tidak boleh diperdagangkan melalui pasar modern, sehingga bisa terhindar dari aksi borong dari masyarakat yang berpunya, karena harganya sekitar Rp2.500—Rp3.000 per liter di bawah harga normal. Maka perlu pengawasan ketat di jalur distribusi dan menindak para penimbun Minyakita,” ujarnya dihubungi, dikutip Minggu (25/8/2024).

Di samping itu, lanjut Sahat, permendag baru tersebut tidak ada lagi mengatur pengalokasian berapa kiloliter (kl) per perusahaan dalam menyetorkan minyak goreng secara eceran untuk mendapatkan izin ekspor.
"Namun, ada ketentuan bahwa para produsen [yang ingin melakukan ekspor] minyak goreng Minyakita harus memasarkan 250.000 ton/bulan," ujarnya.
Selain itu, penyaluran Minyakita kini harus terdaftar dan tercatat melalui Sistem Informasi Minyak Goreng Curah (SIMIRAH).
Penyaluran Minyakita pun harus melalui distributor level Distributor D2 atau melalui Distributor D1 yaitu BUMN pangan seperti Bulog atau ID Food agar produsen minyak sawit bisa mendapatkan hak ekspor (HE) bagi 7 jenis minyak sawit, yaitu; CPO, RBDPO, RBD, Palm Olein, UCO dan juga untuk minyak sawit residu, seperti POME, EFB Oil dan HAPOR.
Besaran perolehan HE setelah menjalankan DMO berupa MGR Minyakita, maka produsen/eksportir memperoleh 3 jenis faktor besaran pengali. Pertama, faktor pengali regional dengan besaran 1—1,65.
Kedua, faktor pengali berdasarkan kemasan. Bila kemasan bantal, maka mendapat faktor pengali 2 dan bila kemasan berdiri (standing pouch, botol, jerigen) dapat faktor pengali 2,25.
Ketiga, faktor pengali berdasarkan pendistribusian melalui BUMN Pangan. “Karena mereka juga punya kewajiban pemenuhan pangan, dapat tambahan/insentif faktor pengali 1,25." jelas Sahat.
“Dengan berlakunya pola pendistribusian seperti yang disebutkan di atas, maka para eksportir akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik akan Minyakita semaksimal mungkin, dan sekalian juga mereka akan bernegosiasi untuk perolehan DMO dari produsen MGR [Minyak Goreng Rakyat] yang fokus ke pasar lokal,” lanjutnya.
Dalam kesempatan berbeda, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Moga Simatupang menyebut perubahan ini dilakukan dalam upaya mendorong realisasi DMO yang tengah menurun.
"Ini merupakan salah satu upaya mendorong realisasi DMO karena pasar ekspor produk turunan kelapa sawit yang menurun serta menyesuaikan harga CPO [crude palm oil/minyak sawit mentah] yang mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan sebelumnya," ujar Moga dalam konferensi pers, Senin (19/8/2024).
Sekadar catatan, Minyakita merupakan program lanjutan dari program sebelumnya, Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR). Perbedaan keduanya terletak pada kemasan. Jika MGCR dibungkus plastik tipis dan mudah bocor, Minyakita dibungkus plastik yang lebih kuat dan rapi.
Keputusan itu, lanjut Moga, diharapkan dapat mengoptimalkan pendistribusian minyak goreng rakyat kepada pengecer sesuai dengan ketercapaian di masing-masing level distribusi dan HET.
"Ini juga untuk memastikan tepat sasaran, mengurangi potensi penyalahgunaan atau penyelewengan oleh pihak yang dapat merugikan masyarakat," jelasnya.
(prc/wdh)