Logo Bloomberg Technoz

Bloomberg Technoz, Jakarta - Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menegaskan isu kepastian hukum di Indonesia menjadi salah satu tantangan utama dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif. 

Masalah ini, menurut dia, telah terjadi sebelum ada penolakan revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang menjadi perbincangan sejak kemarin, Kamis (22/8/2024). 

Herman menuturkan kerangka penilaian yang dibuat oleh KPPOD mencakup daya tarik investasi, tata kelola ekonomi daerah, dan daya saing daerah berkelanjutan, kepastian hukum menjadi salah satu variabel penentu. Ketidakpastian hukum ini, menurut dia, sering kali menimbulkan ketidakpastian dalam layanan perusahaan di daerah, yang akhirnya menjadi perhatian serius dunia usaha.

"Kalau kita mau coba kaitkan dengan dinamika Pilkada, seringkali kemudahan dan kepastian pelayanan perizinan perusahaan di daerah dan pelayanan publik, itu sangat diperhitungkan seperti apa komitmen kepala daerah," ungkap Herman ketika ditemui di Jakarta, Jumat (23/8/2024). 

Oleh sebab itu, ia menyoroti pentingnya sistem Pilkada yang berkualitas dalam menjamin kepastian dan integritas kepemimpinan. Herman juga menyatakan dukungannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru-baru ini dikeluarkan, karena putusan tersebut diyakini membuka ruang bagi kompetisi yang sehat, serta menghindari konsentrasi dukungan hanya kepada satu calon yang berpotensi memperkuat oligarki dan dinasti politik.

Terkait kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kemudahan dan kepastian berusaha, Herman turut menekankan pentingnya partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan, termasuk melibatkan dunia usaha, masyarakat adat, dan pelaku UMKM. 

Ia mengkritisi kebijakan yang disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan berbagai pemangku kepentingan, yang menurutnya hanya akan menghasilkan kebijakan yang kurang matang.

"[Semua] ada benang merahnya, karena yang kami lihat dalam 24 tahun terakhir ini, di daerah itu karena kondisi sistem kita itu belum solid, sehingga di lapangan, di daerah, sangat tergantung kepala daerahnya."

"Ketika kepala daerahnya dalam tanda kutip medioker saja, pelayanan publik di daerah juga seperti itu," pungkasnya. 

Untuk diketahui, amar putusan MK nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah syarat ketentuan pencalonan Pilkada dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di atas 6 juta suara: Parpol cukup memperoleh raihan 7,5% suara DPT.

Putusan tersebut mengubah syarat sebelumnya yang mengharuskan parpol wajib memiliki 25% suara atau 20% kursi di legislatif.

Sehingga, RUU Pilkada ditengarai sebagai cara pemerintah menghidari putusan MK yang menetapkan penurunan ambang batas pencalonan peserta Pilkada Serentak 2024 dari 25% menjadi 6,5-10% suara sah. Putusan MK ini dikabarkan akan menggagalkan skenario pembentukan koalisi gemuk yang ingin mengajukan calon tunggal pada sejumlah pilkada.

Selain itu, RUU Pilkada juga membatalkan putusan MK yang menetapkan batas usia calon peserta pilkada dihitung pada saat pendaftaraan ke KPU. Putusan ini berpotensi membuat putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep tak bisa maju sebagai calon pada Pilkada tingkat provinsi karena belum genap 30 tahun.

(prc/lav)

No more pages