Bila berkaca dengan keadaan sekarang dalam lingkungan program pendidikan dokter spesialis (ppds) yang kian marak kasus perundungan. Apakah hal ini membuat peserta didik takut melanjutkan pendidikan kedokteran spesialis?
Ketua Junior Doctors Network IDI, dr Tommy Dharmawan SpBTKV, PhD mengatakan tentunya bisa jadi banyak peserta yang takut melanjutkan ke ppds. Tommy pun mengaku kasus bullying ini sempat membuat pihak IDI takut bila benar-benar membuat calon peserta didik dokter berkurang.
"Tentunya bisa jadi itu yang kami takutkan, jumlah ppds, jumlah dokter spesialis berkurang saat ini kalau mau sekolah kurang pasti akan berkurang lagi, padahal kita ingin dokternya banyak di Indonesia ini," kata dr Tommy dalam diskusi webinar IDI.
Dokter Tommy menjelaskan bahwa JDN pernah melakukan survei masalah kekurangan dokter pada tahun 2023. Faktor yang ditemukan ialah masalah persebaran dokter yang tidak merata.
"Penyebaran yang tidak merata, itu kan peran pemerintah di situ.Bagaimana dokter spesialis ini merata, ga cuman tersebar di kota-kota besar," kata dr Tommy.
Menurut Tommy, bila pemerintah mengatasi permasalahan bully dengan jelas kemudian ada sanksi tegas serta ada LPDP mendukung, biaya hidup ppds, serta RS vertikal memberikan gaji, adanya konseling untuk ppds yang merasakan tidak kuat akan banyak peserta didik yang mau tetap sekolah.
Dokter Tommy pun mencontohkan pada prodi spesialis kardiovaskular di Universitas Indonesia yang memberikan kuota untuk peserta didik hanya menerima 11 orang, sedangkan yang daftar 33.
"Masih cukup banyak yang mau sekolah. Karena sekolah spesialis menjadi pekerjaan yang didambakan,"katanya.
Gaji dokter umum kecil
Dokter Tommy pun mengungkap gaji dokter umum di Indonesia yang rata-rata hanya UMR. Sehingga ia menilai bahwa saat ini masih banyak mereka mau melanjutkan dokter spesialis.
Disebutkan, bayaran dokter umum bila melakukan prakter dari pelayanan BPJS cuman Rp2000-Rp3000 per pasien.
"Untuk dokter umum di pelayanan BPJS bayangkan. Tukang parkir aja kita bayar sekarang Rp5000 ribu. Jadi miris sekali kalau diliat," katanya.
Selain gaji, permasalahan dokter umum juga terdapat di daerah terpencil atau perbatasan, bahkan daerah konflik. Dokter Tommy mengatakan kasus yang terjadi biasanya kekerasan fisik hingga keamanan.
"Dokter di Papua puskesmas dokter ada yang mengalami kekerasan fisik, gangguan keamanan, kita bersuara juga kan dokter spesialis mulu disuarakan nah ini juga kita suarakan dokter umum," tandasnya.
Kemenkes Sanksi Tegas Pelaku Perundungan
Praktik perundungan atau bullying dalam pendidikan dokter spesialis masih terus terjadi. Selain terjadi pada dokter residen ppds di Universitas Diponegoro, Semarang. Belakangan ada juga peserta ppds yang mengaku telah menghabiskan uang puluhan juta hingga ratusan juta rupiah demi keperluan seniornya di luar kegiatan pendidikan.
Kementerian Kesehatan pun sampai saat ini telah menerima ratusan laporan pengaduan perundungan yang dikirim lewat website perundungan.kemkes.go.id, yang mana 39 diantaranya telah diberikan saksi tegas.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan, dr. M. Syahril mengatakan, sejak Juli 2023 hingga 9 Agustus 2024, Kementerian Kesehatan telah menerima 356 laporan perundungan dengan rincian 211 laporan terjadi di RS vertikal dan 145 laporan dari luar RS vertikal.
Jenis perundungan yang banyak dilaporkan yakni perundungan non fisik, non verbal, jam kerja yang tidak wajar, pemberian tugas yang tidak ada kaitan dengan pendidikan serta perundungan verbal berupa intimidasi.
dr. M. Syahril mengatakan, dari hasil investigasi yang dilakukan terhadap 156 kasus bullying, sebanyak 39 peserta didik (residen) maupun dokter pengajar (konsulen) telah diberikan sanksi tegas.
“Kemenkes akan selalu menindak tegas pelaku bullying. Selain itu, namanya juga akan ditandai di SISDMK sebagai pelaku perundungan,” katanya dalam keterangan pers.
(dec/spt)