Besar defisit transaksi berjalan pada kuartal II juga lebih besar dari prediksi pasar yang memperkirakan angkanya di kisaran US$2,44 miliar. Angka itu setara dengan 0,88% dari Produk Domestik Bruto. Sementara bila menghitung 12 bulan berjalan, defisit transaksi berjalan RI mencapai 0,58%, menurut hitungan Mega Capital Sekuritas.
Analis pasar memperkirakan, defisit transaksi berjalan berisiko semakin melebar pada kisaran 1%-1,1% dari PDB pada akhir tahun ini. Penyebabnya, penurunan surplus neraca dagang pada Juli yang tak terduga menjadi US$472 juta dari tadinya US$2,39 miliar.
"Jika Indonesia tidak mampu mencatat surplus perdagangan kumulatif minimal sebesar US$6,5 miliar pada Agustus, defisit transaksi berjalan kemungkinan akan melampaui kisaran target BI yaitu di angka surplus 0,1% hingga defisit 0,9% dari PDB," kata Lionel Priyadi, Fixed Income and Macro Strategist Mega Capital dalam catatannya.
Bila skenario itu terjadi, akan sulit bagi BI untuk memangkas bunga acuan sebanyak dua kali tahun ini masing-masing 25 bps. Analis mempertahankan prediksi bahwa BI hanya akan menurunkan BI rate sebanyak 25 bps di sisa tahun ini.
Sementara peluang BI memangkas bunga acuan hingga dua kali di sisa tahun ini masing-masing 25 bps, bisa terjadi apabila, pertama, The Fed memangkas bunga acuan secara agresif sedikitnya sebanyak 75 bps pada sisa tahun ini.
"Kedua, bila ada aliran masuk modal asing yang kuat ke Indonesia terdorong ekspektasi pasar yang agresif terhadap skenario penurunan Fed fund rate pada 2025 sebanyak 150-200 bps," tambah Lionel.
Rupiah Terancam Lagi
Bukan cuma data neraca pembayaran yang membuat rupiah pamornya kembali turun. Eskalasi ketegangan politik di ranah domestik menyusul penentangan terhadap rencana pengesahan RUU Pilkada yang memicu demo besar pada Kamis membuat pelaku pasar dilanda kecemasan.
Ada kekhawatiran social unrest atau kerusuhan akan pecah di Indonesia bila para elit politik masih berakrobat.
Di pasar offshore dini hari tadi pada penutupan pasar New York, rupiah forward ditutup melemah tajam hingga 1,57% untuk NDF-USD/IDR tenor 1 bulan. Sedangkan NDF-1W rupiah ditutup lemah hingga 1,36% ketika indeks dolar AS ditutup menguat 0,46%.
Pagi ini, rupiah offshore terpantau bergerak di kisaran Rp15.608-Rp15.768/US$. Level itu jauh lebih lemah dibanding posisi penutupan rupiah spot di Rp15.600/US$, yang mencerminkan pelemahan 0,74%.
Meski kemarin pengesahan RUU Pilkada tidak jadi dilakukan, disusul oleh pernyataan Wakil Ketua DPR-RI Sufmi Dasco yang bilang pendaftaran Pilkada bisa mengacu pada tafsiran Mahkamah Konstitusi dan menyerahkan pada KPU untuk mengeluarkan aturan lanjutan, ketegangan tidak otomatis mereda.
Elemen masyarakat sipil ditengarai masih akan berjaga-jaga mengantisipasi kemunculan akrobat lanjutan dari para elit politik. Alhasil, tidak ada yang dapat memastikan apakah hari ini unjuk rasa tidak berlanjut. Ketegangan diperkirakan masih berlanjut.
Secara teknikal rupiah berpotensi semakin jatuh ke kisaran Rp15.800-an/US$ lagi dalam waktu dekat. Eskalasi politik domestik akan semakin menekan rupiah.
"Setelah banyak dijual kemarin, saya perkirakan itu akan berlanjut hingga mencapai rata-rata pergerakan 200 hari di kisaran Rp15.865/US$," kata Brad Bechtel, Global Heaf of FX Jefferies, dilansir dari Bloomberg.
Rupiah dinilai memiliki peluang untuk semakin melemah ke arah Rp16.101/US$ jika dolar AS menguat setelah pidato Powell di Jackson Hole. "Namun kita mungkin harus menunggu hingga laporan non-farm payrolls berikutnya untuk meredakan tekanan pada dolar AS yang lebih luas," katanya.
(rui/aji)