Bloomberg Technoz, Jakarta - Trina Mas Agra Indonesia (TMAI) mengatakan pabrik modul dan sel surya dengan nilai investasi US$100 juta (atau setara Rp1,5 triliun asumsi kurs saat ini) miliknya bakal beroperasi atau commercial operation date (COD) masing-masing pada kuartal III-2024 dan kuartal IV-2024.
Chief Financial Officer Trina Mas Agra Indonesia Wilson Kurniawan menjelaskan pabrik modul surya tersebut ditargetkan bakal COD pada September 2024. Sementara itu, pabrik sel surya bakal COD pada November 2024.
Adapun, pabrik tersebut berada di Kendal Industrial Park, Jawa Tengah dengan kapasitas 1 gigawatt (GW) modul dan sel surya pada tahap pertama.
"Kita sudah melakukan land preparation dari Desember 2023, engineering, procurement and construction [EPC] sudah mulai bekerja pada Maret 2023 dan kita sudah financial close 31 Juli 2024. Jadi pada akhir 2024, kita punya pabrikan lokal yang tier 1 dan tingkat komponen dalam negeri [TKDN] 40%," ujar Wilson di sela Solar Summit 2024, Rabu (21/8/2024).
Berbeda dengan pabrikan yang lain, kata Wilson, TMAI bakal menargetkan pasar domestik, khususnya untuk memastikan pasokan panel surya yang baik kepada PT PLN (Persero).

3 Tantangan
Di lain sisi, Wilson mengatakan Indonesia memiliki 3 tantangan dalam pengembangan energi surya.
Pertama, permintaan yang terbatas dan eksekusi yang tertunda. Dalam paparannya, Wilson menjelaskan, permintaan untuk TKDN panel surya terbatas hanya untuk proyek PLN dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), eksekusi untuk proyek PLN biasanya membutuhkan lebih banyak waktu daripada perkiraan sebelumnya.
Dampaknya, skalabilitas untuk invetsasi pabrik menjadi terbatas, termasuk untuk pengembangan hulu dan kurangnya kepastian pada pesanan pembelian.
Kedua, ekosistem industri lokal yang belum matang. Hal ini disebabkan kurangnya pemasok lokal dan berkualitas untuk mencapai TKDN yang diperlukan.
"Kalau peraturan menteri perindustrian [Permenperin] sebelumnya mewajibkan TKDN 40% atau 60% untuk capai angka itu kita sangat bergantung pada industri pendukung lainnya seperti EVA film, tempered glass, solar silicon, PV ribbon," ujarnya.
Selain itu, komponen pembelian lokal untuk yang seusai dengan TKDN lebih mahal. Dampaknya, biaya produksi menjadi lebih tinggi dan keberhasilan terhadap TKDN bergantung pada industri pendukung.
Ketiga, persyaratan TKDN tidak sejajar dengan dukungan. Dalam hal ini, Wilson mengatakan tidak ada insentif fiskal yang diberikan khusus untuk investasi sel surya dan panel surya yang teknologinya berkembang pesat.
Dampaknya, pabrikan lokal mendapatkan posisi yang sulit untuk bertanding melawan harga pasar global.
(dov/wdh)