Logo Bloomberg Technoz

Terlebih, Luhut mengatakan, emisi karbon per kapita Indonesia tergolong lebih rendah dibandingkan dengan negara lain dan berada di bawah batas ambang yang ditetapkan.

"Kalau dilihat angka emisi karbon per kapita, Indonesia saya kita hanya sekitar 1,5 [ton], sementara batasnya 2,5 [ton]. Negara-negara maju bahkan sudah mencapai 12 [ton] atau 15 [ton]," ujar Luhut.

Dilansir melalui situs World Bank, emisi CO2 Indonesia sebenarnya mencapai 2,1 ton per kapita pada 2020. 

Kendati demikian, Luhut mengatakan, Indonesia sendiri sebenarnya tengah melakukan kajian untuk melakukan suntik mati (shutdown) terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Suralaya.

Menurutnya, hal ini penting karena Indonesia harus merogoh kocek Rp38 triliun untuk anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan untuk biaya pribadi untuk kesehatan.

"Jadi kita masih punya ruang untuk bergerak, tetapi kita akan berusaha keras untuk menguranginya dengan mengurangi sebagian energi lama yang menggunakan batu bara," ujarnya.

Dalam kesempatan berbeda, Luhut mengatakan bahwa pemerintah melakukan kajian untuk suntik mati PLTU Suralaya karena memiliki banyak polusi dan sudah berusia lebih dari 40 tahun.

Sementara, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Periode 2019—2024 Arifin Tasrif mengatakan terdapat beberapa kriteria yang bakal dipilih pemerintah untuk melakukan suntik mati terhadap unit-unit PLTU Suralaya, yakni unit yang paling lama beroperasi, unit yang paling tidak efisien dan unit yang mengeluarkan emisi paling banyak.

Di sisi lain, Arifin mengatakan pemerintah juga harus merencanakan energi baru yang bakal mengganti PLTU tersebut.

“Jawa ini kalau kita lihat potensi energi barunya ya mungkin tidak cukup untuk bisa di-support. Makanya harus ada sambungan dari Sumatra nanti ke depan. Namun, kita harus melakukannya bertahap. Jadi kalau tidak ada infrastruktur transmisi ya tidak akan bisa masuk energi-energi baru ini,” ujarnya. 

(dov/wdh)

No more pages